Archive for 2013-12-29
The year 2013 was not the brightest for many emerging economies, including Indonesia. While in 2012 Indonesia reached its “usual” 6 percent economic growth, thanks to its large consumer economy and growing middle class, prospects are bleak for 2014.
In the last few months of 2013, the rupiah, along with other soft currencies, suffered severe depreciation. The value of the rupiah has plunged dramatically since the beginning of the year, which has damaged market confidence.
The rising middle class helped Indonesia weather the 2008 crisis, but in 2013 it may have contributed to our blooming “crisis”.
This pattern is similar to that of the economic crisis in 1998. During the 1990s, Indonesia’s economic boom crashed as investors pulled out their dollars from the domestic market, leading to a liquidity crisis. Massive bankruptcies
occurred because the increasing burden of dollar-denominated debt.
The International Monetary Fund (IMF) stepped in and forced the central bank to increase the interest rate, resulting in another wave of pivot sector collapses. While the IMF had contributed to escalating the economic crisis, the options were limited as Indonesia had to restore faith in its currency.
The situation in 2013 resonates with the situation in 1998 where market confidence diminished due to currency depreciation. A weakening currency is ideally good for exports. In a perfect market, the market will correct itself as exports increase, a country will gain from surplus and new foreign reserves and the currency will strengthen again and find a new level of equilibrium.
But at the moment Indonesia is enjoying a double-edged economic boom. Mass consumption stimulates economic growth, but the economic fundamentals are not completely ready for a mass consumer economy. Take a look at the food sector: Indonesia has the serious problem of not being able to produce its own food sufficiently.
As the largest rice consumer in Southeast Asia, Indonesia is very vulnerable to crop failures because people are reluctant to switch to other staple foods. When local rice production cannot fulfill the domestic market demand, rice has to be imported to pick up the slack.
It is also the largest producer of instant noodles, and Indonesia is one of the biggest noodle consumers in the world; however, the industry depends entirely on imported wheat. This year, Indonesia has also suffered from rising prices of beef and onions due to protectionist sentiment.
While Indonesian decision makers have coordinated to issue appropriate policies to tackle this situation, options are limited because Indonesia has ratified various free trade pacts. Indonesia cannot unilaterally impose tariff barriers as they would violate its international treaties.
It has become prisoner of its own free-trade treaties and may end up as a loser in the free-trade game.
So far, the government has introduced various policies to offset this problem, such as increasing taxes on luxury goods, reducing oil imports and stopping the export of raw minerals starting next month. The central bank has also eased its restrictions to ensure banks and exporters can increase liquidity.
However, these short-term policies do not address the fundamental problems in the Indonesian economy. The policies could help temporarily offset the painful trade deficit and weakening currency, but they are not enough. Medium-term or long-term strategic policies have to be formulated to address the real problems instead of the symptoms.
For example, the state should give incentives (such as easy credit) to vulnerable sectors and small and medium enterprises affected by the free trade pacts.
Unfortunately, financial institutions tend to give easier access to consumer activities instead of loans for small and medium enterprises.
The major difference between 1998 and now is that the Indonesian rupiah is now managed under a floating exchange rate regime.
The central bank no longer needs to dip into its foreign reserves as aggressively as before to defend the rupiah’s rate.
In the worst case scenario, Indonesia may need to ask for another liquidity injection from other sources, though the IMF is no longer the only option. The central bank has signed bilateral swaps with other central banks.
There is also the Chiang Mai Initiative, which provides liquidity from pooled foreign reserve currencies from the ASEAN+3 members with less draconian conditionality.
While the situation is not as severe as in 1998, the current “crisis” is an opportunity to examine what is wrong with Indonesia’s economy.
Namely, a consumption-based economy is not always viable in a country with a weak currency and a high import rate. It triggers overheating in the economy that could end with a crash.
The reality of 2013 has shed light on the weak foundation of Indonesia’s consumption-based economy. It is fragile because of its over-dependence on imported goods. Indonesians consume more than they produce. Mass consumption will not be sustainable in the long run if the export sector remains sluggish.
The Indonesian middle class has helped to shelter the country from 2008 crisis, but it has also contributed to the trade deficit, because it is easier to import and consume rather than to produce and export.
Financial institutions also more aggressively disbursing loans for consumption instead of loan for small and medium enterprises.
Perhaps the 2013 “crisis” is a signal for decision makers to pay more attention to the export sector, to introduce strategic long-term policies and a wake-up call to not be disillusioned by Indonesia’s autopilot economy and rising middle class.
TAHUN 2014 telah datang. Tahun
2013 kita tinggalkan bersama kenangan dan setumpuk kekurangan.
Awal tahun kita sambut dengan
harapan bahwa tahun-tahun yang akan kita lalui adalah semburat fajar yang
akan mempercepat terwujudnya hidup menemukan adabnya. Tahun baru dengan
terhunjamkannya spirit ”kelahiran kembali”: lahir dengan kesadaran baru.
Kelahiran dan kebaruan hakikatnya
adalah khitah agama yang bukan saja diusung Al-Masih, juga digelorakan semua
nabi, termasuk Muhammad SAW. Sebuah kearifan abadi dan melintasi batas-batas
agama dan budaya (al-hikmah al-khalidah).
”Lahir” sebagai simbol terlepasnya
diri (dan bangsa) dari sekapan kegelapan, dari keyakinan menikung yang tak
membawa pencerahan dan dari gelegak nafsu yang dapat menjungkalkan marwah
kemanusiaan ke tubir kehinaan. Dan, ”baru” sebagai metafora kehidupan dengan
semangat yang berbeda dari sesuatu yang kita anggap ”lama”.
”Baru” itu interaksi simboliknya
dapat merujuk kepada situasi politik yang memuliakan akal budi, ekonomi
yang berporos pada terdistribusikannya rasa keadilan merata. Lebih luas lagi,
”baru” itu bersatu dengan kebudayaan yang berjangkar pada etos penciptaan
kebeningan batin (Cicero), keluhuran nalar (Raymond Williams), kekukuhan
menjunjung tinggi nilai universal (Kant), daya imajinasi kreatif (Schiller),
terus mengupayakan terwujudnya masyarakat sempurna (EB Taylor) melalui
gelegak daya kehidupan dengan membiarkan insting natural menemukan katupnya
yang optimal (Nietzsche).
Tahun politik
Negara orde ”baru” tempo hari
dikedepankan sebagai antitesis orde ”lama” yang dianggap serba ”mitologis”,
terlampau ”politis”, dan hanya gaduh dengan orasi yang tidak menyentuh hajat
hidup orang banyak. ”Bung Besar” harus ditumbangkan. Tragisnya, kebaruan yang
ditawarkan justru berubah jadi ”mitos baru” yang tak kalah mengerikan. Selama
32 tahun hidup dalam suasana yang seolah-olah baru, padahal sesungguhnya
dengan sempurna mewarisi mentalitas lama, mentalitas yang terpelanting jauh
pada zaman-zaman kerajaan kuno ketika ruang publik dikelola secara
turun-temurun (dinasti), antikritik, bebal, dan korup.
Tahun 2014 bukan sekadar peralihan
tahun baru, tetapi dalam konteks kebangsaan kita sedang memasuki
tahun-tahun politik. Kita akan merayakan pesta demokrasi lima tahunan
memilih secara langsung. Tahun politik bisa jadi bagi sebagian kalangan
dilihat dengan waswas ketika persoalan daftar pemilih tetap masih simpang
siur, masyarakat yang kian apatis, dan kabar tiap hari mengenai
politisi yang selalu berperilaku tak ubahnya para bandit: korup dan rakus.
Tentu semua harus tetap berjalan.
Mesin waktu tidaklah bisa dihentikan. Heraclitos menyebutnya panta rhei
kai uden menei. ”Semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang
tinggal tetap. Engkau tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama”.
Tentu saja tak ada yang sempurna.
Justru ketaksempurnaan ini yang jadi alasan utama pentingnya melakukan
introspeksi di tahun baru. Menjadi modus eksistensial untuk merayakan
pergantian tahun itu sendiri.
Hakikat tahun baru
Bukan sekadar perayaan kembang
api, kenduri material, pesta semalam suntuk atau hura-hura yang acap kali
menyisakan upacara jadi tak cukup bermakna. Namun, perayaan peralihan
tahun yang penuh kesungguhan, mengacu pada etos kebaktian sekaligus sebagai
ekspresi pemujaan pada Sang Pemilik Waktu.
Tahun baru jadi pintu masuk meraih
pembebasan sekaligus momen meneguhkan sikap keterbukaan dan penegasan.
Bagaimanapun, manusia meriwayatkan konsep dirinya sepenuhnya melalui waktu.
Salah satunya lewat fragmen peralihan tahun, melalui renungan tentang hari-
hari yang dianggap memiliki nilai tak ubahnya Natal dan lain sebagainya.
Ini juga barangkali yang jadi
alasan metafisis, dalam ajaran Islam, Tuhan banyak bersumpah menggunakan
diksi yang berdimensi waktu. Sebut saja: demi masa (wal ashri), demi malam (wal
laili), demi siang (wan nahari),
demi fajar (wal fajri), demi bulan
(wal qamari), demi matahari (wasy syamsi), demi waktu duha (wadh dhuha). Kata sang Nabi, ”Dua hal
yang acap kali terabaikan dalam kehidupan manusia: sehat dan peluang.”
Tahun baru segera tiba.
Banyak yang merasa, waktu berjalan begitu cepat, time
flies.
Ke mana saja hari? Tiba-tiba sudah akhir tahun dan di depannya tahun baru
lagi.
Ah, kita semua sebenarnya ditelan
kecepatan. Kecepatan adalah gejala paling menonjol dari kehidupan mutakhir
kita. Kita semua pemuja kecepatan. Sesuatu yang lambat, kita keluhkan:
internet lelet banget, filmnya lamban jelek, masakannya enak tapi nunggunya
lama, jawabannya tidak seketika terlalu mikir, kereta pelan tak
sampai-sampai....
Semua orang ingin lebih cepat dan lebih
cepat lagi. Kerja lebih cepat, terhubung lebih cepat, berpikir lebih cepat, ngomong lebih
cepat, bercinta lebih cepat, hamil lebih cepat—sampai tak sempat berpikir,
hamil ini karena terpaksa atau suka bin senang?
Kecepatan dan konsumerisme jalin-menjalin
menjadikan apa saja terasa kurang. Ada midnite
shopping, liburan, clubbing,
nonton bioskop, pesta, berselingkuh, ditambah entah apa lagi. Waktu tetap
saja terasa cupet. Padahal, pendidikan anak sudah diserahkan kepada babu.
Hidup manusia modern adalah perjalanan dari kekecewaan ke kekecewaan karena
apa yang ingin dijalani dan apa yang bisa dijalani makin lebar jaraknya.
Penghayatan kita terhadap waktu bukanlah
sebagai siklus. Waktu dihayati sebagai sesuatu yang linear: melesat cepat ke
depan. Bersama kecepatan pula kemudian sejumlah imperatif kehidupan hilang.
Taruhlah di antaranya proses. Proses diganti sukses, yang datangnya kalau
bisa seseketika mungkin. Pokoknya gampang. Tinggal petik.
Bagaimana caranya? Diomongkan. Mengalirlah
kutipan, uraian, fasih, diungkapkan sambil mesem-mesem, seolah hidup melulu
gejala kata-kata, bukan pelaksanaan segenap aktivitas diri yang di dalamnya
termasuk pikiran, tubuh, dan spiritualitas manusia. Bahwa sebagaimana gejala
alam, totalitas manusia tak bisa digenjot kecepatannya semudah kata-kata para
penganjur produktivitas industri kapitalis. Pret.
Ada sesuatu yang sifatnya alamiah. Tidak
ada bayi yang dengan seketika bisa disuruh tegak berdiri dan langsung
berlari. Harus terjadi pengondisian tubuh terlebih dahulu, sebelum tubuh bisa
diperintah otak untuk melakukan gerak-gerak motorik. Atau sebaliknya, pada
fase berikut, kadang dibutuhkan pengondisian otak, untuk tidak terlalu
mengintervensi tubuh. Kalau otak terlalu mengintervensi tubuh, orang jadi
sulit tidur, stres, mau bercinta loyo karena masih mikirin anjlognya harga saham.
Sejak awal, modernitas memang berkecenderungan
mereduksi gejala tubuh. Manusia gerak menjadi manusia duduk. Kota dan
metropolitan lahir.
Bersama perkembangan urbanisme, manusia terpisahkan dari alam. Manusia urban tidak mengolah alam. Mereka secara perlahan mulai lupa keterkaitannya dengan alam yang menghidupinya.
Bersama perkembangan urbanisme, manusia terpisahkan dari alam. Manusia urban tidak mengolah alam. Mereka secara perlahan mulai lupa keterkaitannya dengan alam yang menghidupinya.
Hinterland,
desa-desa di sekeliling kota sumber daya pertanian, dilupakan keberadaannya.
Dalam globalisasi, keterkaitan kota-desa kian hilang dari memori. Soalnya,
jarak antara produsen bahan makanan dengan piring orang kota kian jauh. Beras
yang dimakan orang Jakarta berasal dari Thailand. Jeruk dari China. Kopi dari
Brasil.
Kalau orang kota kembali ke desa,
keinginannya bukan untuk mengolah alam, melainkan mengonsumsi romantisme
desa. Banyak teman saya membeli tanah di desa-desa di kota lamanya, sebelum
nantinya hengkang, karena kenyataan tidaklah seperti kenangan. Tidak tahu
lagi, apa yang harus diperbuat dengan kesenyapan. Sudah terlalu terbiasa
dengan kecepatan, hiruk-pikuk, dan gebyar-gebyar palsu.
Di akhir tahun seperti sekarang, kadang
sulit saya menjawab pertanyaan orang: di mana tahun baru? Mau apa?
Sekalipun pada 2013 kita
menghadapi banyak permasalahan ekonomi, kita tetap bersyukur dapat melaluinya
dengan selamat. Tahun 2013 di- cirikan dengan inflasi yang tinggi sekitar 8,5
persen, nilai rupiah yang melemah sekitar 27 persen pada tingkatan sekitar Rp
12 ribu per dolar AS, dan pertumbuhan ekonomi yang menurun menjadi sekitar
5,8 persen.
Kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM) menyebabkan inflasi yang tinggi. Defisit transaksi berjalan di atas
tiga persen dari produk domestik bruto (PDB) menyebabkan tekanan berat pada
rupiah dan menurunnya investasi serta ekspor menyebabkan penurunan
pertumbuhan ekonomi.
Memasuki 2014 sekalipun dengan harapan ekonomi yang lebih baik, kita masih
dihadapkan dengan tantangan yang tidak ringan.
Dari luar, rencana bank sentral
Amerika Serikat (the Fed) untuk
menurunkan stimulus dengan mengurangi
pembelian obligasi yang lebih besar menyebabkan aliran modal ke luar dari
negara berkembang, termasuk Indonesia, dan modal kembali ke AS. Hal ini
menyebabkan tekanan masih akan berlangsung pada nilai rupiah. Kemungkinan the Fed akan menaikkan suku bunga pada
pengujung 2014 yang memberi kan tekanan semakin besar pada rupiah.
Bank Indonesia (BI) masih mungkin menaik kan BI Rate untuk
membuat nilai rupiah tidak terus merosot. Sementara, inflasi akan me nurun
pada kecenderungannya, yaitu sekitar lima persen. Sekalipun demikian, hal
tersebut menunjukkan prospek perbaikan ekonomi AS yang berpengaruh positif
pada ekonomi dunia. Ekonomi Cina yang menjadi rekan perdagangan utama
Indonesia kemungkinan juga akan membaik yang memberikan peluang peningkatan
ekspor Indonesia. Ekonomi Jepang kemungkinan juga membaik yang juga
menguntungkan bagi ekspor Indonesia. Ekonomi Eropa kemungkinan yang masih
lemah karena masalah struktural yang sulit untuk diatasi.
Dengan ketidakpastian di tingkat global tersebut, dengan
faktor positif dan negatifnya bagi ekonomi Indonesia, kita harus
mempersiapkan diri dengan lebih baik memasuki 2014 sebagai masa transisi. Di
dalam negeri, kekuatan pasar domestik yang didukung oleh konsumsi masyarakat
masih kuat. Sektor telekomunikasi, perdagangan, dan keuangan masih memimpin
dalam pertumbuhan sektoral. Sektor yang semestinya unggul, seperti manufaktur,
pertanian, dan pertambangan, masih membutuhkan restrukturisasi untuk dapat
kompetitif dan memperbaiki ketergantungan ekonomi yang besar pada impor serta
dapat meningkatkan ekspor.
Tahun 2014 juga merupakan tahun politik. Perhatian
pemerintah dan politikus adalah pada pemilihan legislatif (pileg) dan
pemilihan presiden (pilpres). Ditambah dengan ketatnya tindakan antikorupsi
maka inisiatif pemerintah akan semakin terbatas. Sedangkan, pemerintah baru
akan terbentuk pada Oktober 2014 dan belum akan dapat berbuat banyak bagi
perekonomian 2014. Karena itu, dapat kita katakan 2014 adalah juga sebagai masa
transisi dari pandangan ekonomi-politik. Harapan lebih besar pada
perkembangan ekonomi pada 2015.
Masa transisi 2014 semestinya juga dikaitkan dengan
restrukturisasi ekonomi dari mengandalkan sumber daya alam kepada kemampuan
dalam produksi di manufaktur dan pertanian yang terkait dengan nilai tambah
global (global value chain). Indonesia dapat mendapatkan manfaat
optimal dari perkembangan global dan dapat meminimalkan dampak negatifnya.
Bagi dunia usaha, memasuki 2014 semestinya
juga lebih fokus pada menyesuaikan diri dengan perubahan ekonomi dengan bunga
pinjaman yang lebih tinggi, nilai rupiah yang relatif lebih lemah, dan
inflasi yang menurun. Pada paruh pertama 2014, ketidakpastian masih akan
dihadapi dunia usaha. Namun, pada paruh kedua 2014, ekonomi akan membaik
seiring dengan perbaikan ekonomi AS dan Cina.
Peluang usaha akan semakin terbuka. Apalagi, jika presiden
terpilih dan pemerintahan baru sesuai dengan harapan masyarakat, prospek
perekonomian akan lebih baik lagi. Bagi dunia usaha yang dapat mempersiapkan
diri dengan baik pada masa transisi ini, akan mendapatkan manfaat besar pada
perkembangan ekonomi 2015. Tentu saja, penyesuaian tidaklah mudah.
Uji materi terhadap Undang-Undang Keuangan
Negara dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ke Mahkamah Konstitusi mendapat
tanggapan beragam. Sebagian menganggap langkah tersebut sebagai upaya membuat
lincah BUMN dalam berbisnis. Di lain pihak, ada kekhawatiran bahwa jika uji
materi itu dikabulkan, peluang korupsi akan menjadi lebih besar di lingkungan
entitas bisnis milik negara tersebut.
Koalisi untuk Akuntabilitas Keuangan (KUAK)
Negara terang-terangan menyatakan khawatir. Mereka curiga bahwa uji materi
tersebut merupakan modus elite partai dalam mencari biaya politik dari BUMN.
Mereka juga mencurigai hal itu sebagai cara BUMN menyelamatkan diri dari pemeriksaan
atau audit BPK. Bahkan, mereka mencurigai BUMN akan berbondong-bondong
melakukan IPO (penawaran perdana saham) menjelang pemilu 2014.
Semua itu merupakan kekhawatiran yang
berlebihan. Bahwa mereka khawatir akan pemisahan keuangan BUMN dengan keuangan
negara, itu jelas sesuatu yang sah. Namun mengkaitkan uji materi dengan
kebutuhan elite partai politik untuk menggali biaya pemilu bisa dianggap
sebagai paranoia politik. Apalagi, mereka mengatakan BUMN akan menjadi sasaran
perampokan karena tidak akan lagi diaudit BPK (Koran Tempo, Senin, 18 November
2013).
Uji materi sejumlah pasal dalam UU Keuangan
Negara dan UU BPK itu bermula dari keprihatinan Ketua Pusat Kajian Masalah
Strategis Universitas Indonesia (CSSUI) Prof Dr Arifin P. Soeria Atmadja, S.H.
Beliau sangat bersemangat untuk membantu BUMN/BUMD agar bisa bergerak lincah
dan bersaing seperti entitas bisnis swasta.
Dia menyatakan ada yang salah dalam pengaturan
BUMN/BUMD sebagai lembaga bisnis. Dalam setiap forum, ia selalu mengatakan BUMN
agak sulit bersaing dengan swasta. Sebab, dari sisi aturan, mereka diatur oleh
lebih dari delapan undang-undang. Sedangkan perusahaan swasta hanya diatur
maksimal tiga UU. Ini menyebabkan BUMN/BUMD tidak punya ladang bermain yang
sama.
Apa saja regulasi yang mengatur BUMN? UU PT,
UU Pasar Modal, UU Sektoral, UU BUMN, UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan
Negara, UU Tipikor, serta UU Pemeriksaan Pengeluaran dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara. Khusus BUMD, masih ditambah UU Pemerintahan Daerah. Sedangkan
perusahaan swasta hanya diatur oleh UU PT, UU Pasar Modal, dan UU Sektoral.
Prof Arifin pula yang getol menggalang
dukungan untuk mengajukan permohonan uji materi. Bahkan, kegigihannya dalam
memperjuangkan BUMN dan BUMD ini dibawa sampai beliau wafat. Dosen UI ini
meninggal karena kelelahan setelah berdiskusi membahas materi di Hotel
Borobudur, Jakarta. Ibaratnya, ia wafat di medan perjuangan saat gugatannya
sedang dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi. Semoga Allah membalas
amal baik beliau.
Di mata Prof Arifin, BUMN merupakan badan
hukum privat, bukan badan hukum publik seperti pemerintah. Kekayaan BUMN adalah
kekayaan BUMN itu sendiri, bukan kekayaan negara. Kepemilikan pemerintah bukan
pada asetnya, melainkan pada jumlah sahamnya. Karena itu, kerugian BUMN/BUMD
bukan kerugian negara, melainkan kerugian korporasi seperti perusahaan swasta.
Lantas bagaimana kalau terjadi penyimpangan?
Jika terjadi penyimpangan pengelolaan sehingga terjadi kerugian, harus
diselesaikan melalui pendekatan perdata lewat ganti rugi atau pengembalian
kerugian. Jika yang bersangkutan tidak bisa menyelesaikan melalui mekanisme
ganti rugi atau berkeberatan, baru dilakukan proses pidana.
Seringkali keberatan atas langkah Prof Arifin
ini muncul hanya karena melihat modal yang disetor ke BUMN berasal dari APBN.
Karena modalnya dari APBN, maka ia harus diperlakukan sebagai aset negara dan
harus mengikuti regulasi lembaga publik. Alasan inilah yang selalu menjadi
senjata mereka dalam mengajukan keberatan atas pemisahan kekayaan BUMN/BUMD
dari kekayaan negara.
Tapi apakah harus demikian? Sebetulnya tidak.
Gaji pegawai negeri yang diterima setiap bulan sudah tidak bisa disebut sebagai
uang negara. Karena itu, ketika gaji itu sudah di saku pegawai dan dicopet,
bukan berarti ia menghilangkan uang negara. Gaji yang telah dibayarkan telah
menjadi milik pribadi dan pertanggungjawabannya juga pribadi.
Jika dicermati, baik yang menggugat UU
Keuangan Negara dan UU BPK ke MK maupun yang menolak mempunyai semangat yang
sama. Pihak penggugat membutuhkan revisi regulasi agar mereka lebih lincah
dalam menjalankan roda bisnis BUMN dan BUMD. Dengan tidak adanya "ranjau
regulasi" yang bisa mencelakakan pengurusnya, mereka berharap bisa
bersaing dengan swasta dan bisa melipatgandakan kekayaan negara lewat bisnis
yang digelutinya.
Sementara itu, pihak yang menolak gugatan
tersebut punya semangat menjaga aset negara yang berada di BUMN/BUMD tidak
hilang dan terus bertahan. Semangat keduanya tentu harus kita dukung bersama.
Namun, dalam prakteknya, upaya mengontrol secara langsung itu menjadi kurang
produktif, bahkan malah menghambat BUMN/BUMD menjalankan perannya sebagai
pengungkit ekonomi nasional ataupun daerah.
Guru menjadi sebuah profesi yang semakin
diminati sejak pemerintah mengalokasikan anggaran yang besar untuk
peningkatan kesejahteraannya. Besarnya anggaran untuk keperluan ini pun tidak
main-main, dari total anggaran fungsi pendidikan sebesar Rp 337 triliun di
tahun 2013, pemerintah mengalokasikan Rp 43 triliun untuk tunjangan profesi
guru. Data Pokok Pendidikan tahun 2012 menyebutkan, dari 2.744.379 orang guru
yang ada, sejumlah 1.168. 405 orang telah tersertifikasi.
Apa yang telah dicapai ini, tentu saja tidak
terlepas dari perjuangan para guru sendiri melalui organisasi profesi yang
telah mulai menampakkan geliatnya pasca reformasi berlangsung. Tumbuh
suburnya berbagai macam organisasi profesi guru membuat guru tidak kehilangan
suaranya. Karena kenyataannya suara guru terlalu lama dibungkam untuk
kepentingan politik para penguasa.
Merujuk dari keberhasilan para guru
memperjuangkan hak-haknya untuk mendapatkan penghargaan yang sepadan dengan
profesi lainnya, maka organisasi ini pasti juga akan mampu jika kini saatnya
guru berbalik memberikan hak-hak orang lain melalui tunjangan profesi yang
telah didapatnya tersebut. Satu program mengenai pemungutan dan
pendistribusian zakat tunjangan profesional dapat dilahirkan melalui
organisasi profesi guru ini.
Zakat yang bersumber dari tunjangan profesi
guru-guru muslim jika dikelola secara terpusat bukan tidak mungkin akan
memberikan kontribusi bagi peningkatan perekonomian masyarakat Indonesia.
Seorang guru negeri dan impassing menerima tunjangan profesi sebesar satu
kali gaji dalam setiap bulannya. Artinya tambahan pendapatannya tersebut bisa
masuk nishab yang dipersyaratkan. Maka di dalam tunjangan profesi tersebut
terdapat hak-hak orang lain yang harus guru muslim sadari untuk diberikan
kepada yang berhak.
Seperti diketahui, satu diantara
prinsip-prinsip ekonomi Islam adalah distributive justice yang berguna untuk
membangun keadilan sosial dan ekonomi yang lebih besar melalui redistribusi
penghasilan dan kekayaan yang lebih sesuai untuk kelompok miskin dan kelompok
yang membutuhkannya.
Jika diasumsikan jumlah guru muslim di seluruh
Indonesia ada sekitar 90 persen, maka akan didapatkan jumlah sebanyak Rp 38,7
triliun. Selanjutnya dapat dihitung potensi zakat yang dapat dikumpulkan pada
tahun 2013 adalah sebesar 2,5 persen dari jumlah tersebut yaitu sebanyak Rp
967, 5 miliar.
Dari ilustrasi tersebut didapatkan sebuah
potensi strategis untuk dapat menyumbangkan peningkatan bagi perekonomian
masyarakat. Muflih (2006), mengatakan sekiranya umat Islam kelas ekonomi
menengah atas di setiap daerah cenderung berperilaku konsumsi yang adil dan
ihsan, maka kemanunggalan sosial ekonomi di masyarakat akan berjalan dengan
baik sekalipun mereka berbeda latar belakang suku bangsa dan daerah. Karena
aturan dalam keberagamaan termasuk didalamnya zakat dan sedekah adalah sama.
Jika pengelolaan zakat tunjangan profesi ini
mampu secara profesional dikelola oleh organisasi guru yang tersebar di
seluruh nusantara, niscaya akan didapatkan berbagai keuntungan. Pertama,
masyarakat penerima zakat akan ikut merasakan nikmatnya kenaikan
kesejahteraan guru. Sehingga kecemburuan sosial bisa teredam.
Kedua, akan tercipta program-program swadaya
yang dapat dikembangkan oleh organisasi profesi dengan sharing dana zakat
yang ada, yang dapat dipergunakan untuk pelatihan-pelatihan kepada masyarakat
yang berhak mendapatkannya.
Ketiga, membuka mata guru muslim bahwa
kewajiban berzakat merupakan hakiki yang tersurat dalam rukun Islam. Zakat
bukan sekedar zakat fitrah, namun juga zakat mal yang lebih sering diabaikan.
Keempat, gerakan guru berzakat merupakan
sebuah modal sosial yang dapat dipergunakan untuk memberikan keteladanan
konkrit bagi negara ini, dimana banyak sekali para pelaku koruptor yang
seolah harta hanya akan diraup untuk kepentingannya sendiri. Keteladanan yang
muncul dari guru akan terasa sangat menyejukkan, dimana status guru yang
masih dianggap mulia oleh masyarakat.
Kelima, zakat guru bisa dibagikan untuk
kegiatan pemberian beasiswa bagi siswa miskin berprestasi. Dengan program ini
bukan tidak mungkin akan melahirkan cikal bakal enterpreuner dari kaum
pelajar.
Selain itu, wujud penyaluran zakat sebagai
dana produktif, yang sumbernya berasal dari guru bersertifikasi akan
menguatkan dua ciri keprofesionalan sang guru, yaitu kompetensi sosial dan
kompetensi kepribadian. Sehingga peran guru bukan saja berada dalamlingkungan
tempatnya mereka bekerja, namun juga dapat dirasakan manfaatnya bagi
masyarakat.
Diperlukan cara untuk mengubah sikap,
memberikan motivasi yang tepat, serta menciptakan lingkungan sosial yang peka
dan terbuka. Guru sebagai kaum intelek di dalam masyarakatnya akan menjadi
teladan dan bersama-sama membangun semangat berzakat dan bersedekah demi
mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Seperti yang telah dijanjikan oleh Allah SWT dalam QS
Al-A'raf ayat 96, "Padahal jika
sekiranya penduduknya negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami
melimpahkan kepada mereka berkah-berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan, maka Kami siksa mereka disebabkann apa yang mereka
lakukan."
BILA kita memutar balik jarum jam tahun
lalu, 2013 sudah ditabalkan sebagai tahun politik, tahun strategis bagi
parpol, caleg, dan capres untuk ancang-ancang memenangi pemilu legislatif
pada April 2014 dilanjutkan pemilihan presiden pada Juli tahun yang sama.
Setelah lembar demi lembar tahun 2013 kita lewati, ramalan itu ada benarnya.
Itu semua fenomena di permukaan. Di dapur
legislatif (DPR dan DPRD), keputusan yang menyangkut kepentingan publik pasti
diwarnai tarik-menarik kepentingan politik di antara wakil rakyat dalam
melaksanakan fungsi sebagai pengawas, penyusun perundang-undangan ataupun
penganggaran.
Bagaimana di dapur eksekutif? Sebelum
pemberlakuan otda awal 2000, genderang peringatan peningkatan eksploitasi
lingkungan sudah ditabuh. Hal ini didasari kekhawatiran sumber daya
alam diperlakukan sebagai lumbung PAD.
Adalah fakta pemda yang kaya sumber
daya alam mudah memberikan izin penambangan demi mengejar PAD. Termasuk
gampang menerbitkan izin pemanfaatan kayu.
Pada Hari Tata Ruang tanggal 8 November
lalu, saya menjadi narasumber seminar tentang tata ruang kepulauan berbasis
pertambangan di Bangka Belitung. Sampai saat ini draf tata ruang provinsi
tersebut masih dalam pembahasan. Menurut tokoh masyarakat provinsi tersebut,
yang proeksploitasi sengaja terus mengulur agar kepentingan mereka tidak terusik.
Kita tahu UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang mengamanatkan rencana tata ruang nasional, provinsi,
kabupaten/kota harus mendasarkan pada daya dukung lingkungan dan daya tampung
lingkungan. Untuk kabupaten/kota yang tidak memiliki sumber daya alam
memadai, instrumen izin dipgunakan sebagai wahana mengeruk PAD.
Di tengah ingar-bingar eksploitasi sumber
daya alam dan lingkungan, muncul sejumlah oasis seperti Kota Surabaya dan
kelompok/masyarakat peduli lingkungan. Surabaya yang dulu dikenal sebagai
’’Surabahaya’’ mengingat tingkat kerusakan dan pencemaran lingkungan yang
melebihi batas, di bawah Wali Kota Tri Rismaharini berubah jadi kota teduh,
nyaman, asri, dan manusiawi.
Kota Pahlawan itu meraih tiga kali secara
berturut-turut Adipura Kencana, mengindikasikan bukan hanya comply mengelola
sampah, menekan tingkat pencemaran udara dan air melainkan sudah beyond
compliance dengan inovasi. Kita bisa melihat pengolahan sampah dari skala
rumah tangga dan TPS berprinsip 3R (reduce,
reuse, dan recycle),
menggunakan energi terbarukan dan efisiensi energi.
Melalui Taman Bungkul, ibu kota Jatim itu
menerima Asian Townscape Award dari
Badan PBB untuk Habitat, dan dinyatakan sebagai taman terbaik di Asia karena
memadukan aspek budaya, sosial, dan ekonomi. Di taman tersebut ada
makam cikal-bakal kota itu yang masih ramai dikunjungi masyarakat. Di tempat
itu pula, warga berekreasi, melepaskan lelah, bertemu dengan rekan bisnis.
Anak-anak muda bisa sepuasnya browsing
internet. Di taman itu PKL bisa berjualan dengan tenang. Taman Bungkul
menjadi tumpuan warga dan menurut Wali Kota akan dibangun 15 taman serupa di
seantero Surabaya. Fungsi sosial taman bukan hanya dirasakan oleh
pengguna melainkan juga oleh warga kota pada umumnya.
Sementara, oasis lain bisa kita lihat dari
kelompok pelestari lingkungan yang dalam 5 tahun terakhir tumbuh bagai
cendawan pada musim hujan. Kelompok-kelompok pengolah sampah skala rumah
tangga yang melakukan 3R dapat kita temui di Semarang, Jakarta, Bandung,
Solo, Bantul, Yogyakarta dan sebagainya.
Prospek
2014
Sampah organik diolah menjadi pupuk dan
sampah anorganik dikemas jadi berbagai produk bernilai ekonomi seperti tas,
tempat tisu, vas bunga dan sebagainya. Kelompok yang didominasi ibu-Ibu ini
mengembangkan sayap dengan membentuk bank sampah. Bank ini membeli sampah
dari warga untuk kemudian dipilah, sebagian dijual kepada pengumpul, sebagian
lagi diolah jadi berbagai produk.
Diskusi mengenai prospek Indonesia
pasca-2014 berkait Munas IKA Undip di kampus Pleburan tanggal 7 Desember 2013
menyimpulkan bahwa bila kualitas Pemilu 2014 masih seperti periode
sebelumnya, bisa dipastikan kondisi Tanah Air ke depan tak akan lebih baik.
Pemilu-pemilu sebelumnya selalu diwarnai politik uang, dan bukan lagi rahasia
adanya biaya politik tinggi untuk bisa menjadi legislator.
Tak mengherankan bila sepanjang masa
baktinya anggota legislatif, dan mungkin juga kepala daerah lebih disibukkan
urusan bagaimana mengembalikan dana yang pernah dikeluarkan berkait
keterpilihan mereka. Nasib lingkungan tahun depan tidak bisa banyak
mengandalkan pilar legislatif dan eksekutif tetapi harus banyak bertumpu pada
kreativitas, inovasi perorangan dan kelompok/masyarakat yang dengan panggilan
hatinya memelopori pelestarian lingkungan.
Semula
saya kira isu tentang kebohongan-kebohongan pemerintahan SBY yang
disampaikan para tokoh lintas agama di kantor PP Muhammadiyah Senin lalu
(10-01-2011) sungguh merupakan hal yang sangat gawat. Buktinya, pada
hari yang sama Menkopolhukam Djoko Suyanto merasa harus memberikan
keterangan pers untuk meluruskan berita yang ditulis dalam editorial di
salah satu media kita bahwa sudah terlalu banyak kebohongan yang
dilakukan pemerintah kepada rakyat. Nampaknya dalam hal ini pemerintah
tidak mau gegabah dengan bereaksi secara langsung kepada para tokoh
lintas agama. Presiden SBY telah memerintahkan Daniel Sparringa, Staf
Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik, untuk meminta konfirmasi
kepada sejumlah tokoh agama yang hadir pada pertemuan tersebut.
Hasilnya? Apa yang semula saya rasakan cukup menegangkan tersebut
ternyata konon hanya merupakan masalah perbedaan bahasa komunikasi yang
digunakan. Tetapi, benarkah itu semua hanya merupakan masalah bahasa?
Mengapa Pemerintah Resah?
Setelah
membaca 18 butir kebohongan yang dipublikasikan di sejumlah media,
nampaknya pemerintah tidak bisa menerima kalau soal janji-janji
pemerintah yang tidak atau belum terpenuhi, penggunaan parameter jumlah
orang miskin yang digunakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai dengan
fakta di lapangan, dan kebijakan pemerintah yang dinilai tidak memihak
kepada publik disebut sebagai suatu kebohongan. Kebohongan tidaklah
identik dengan kegagalan. Kebohongan adalah ucapan yang tidak sesuai
dengan keadaan/tindakan yang sebenarnya. Keadaan/tindakan mendahului
ucapan, bukan sebaliknya, kecuali kalau niat untuk melakukan suatu
tindakan sengaja disembunyikan. Kebohongan adalah kalau kegagalan,
misal dalam menyelesaikan kasus Gayus atau skandal Century, diakui
sebagai keberhasilan. Bagi pemerintah, kebohongan merupakan suatu
perbuatan disengaja yang sangat tercela karena menyangkut integritas,
kredibilitas dan kehormatan seseorang. Pemerintah resah karena dituduh
telah melakukan banyak kebohongan kepada rakyatnya. Bagi pemerintah,
tuduhan tersebut merupakan, meminjam istilah Ketua MK Mahfud MD, proses
demoralisasi.
Kedua,
selain soal bahasa, hal lain yang membuat pemerintah resah adalah
karena konon para tokoh lintas agama tersebut berjanji akan mengajak
umat untuk melawan kebohongan yang dilakukan oleh (pemerintahan) SBY.
Artinya, paling tidak dalam benak pemerintah, akan ada mobilisasi massa
yang bertujuan untuk memerangi kebijakan-kebijakan pemerintah yang
dinilai tidak memihak kepada publik. Nampaknya pemerintah khawatir
proses demoralisasi terhadap pemerintah dan ajakan kepada umat tersebut
akan dimanfaatkan oleh sejumlah politisi dan jenderal purnawirawan yang
sudah tidak sabar lagi untuk melihat Presiden SBY dilengserkan sebelum
masa jabatannya berakhir. Itulah sebabnya Presiden SBY segera mengirim
Daniel Sparringa, staf khusus bidang komunikasi politik, untuk melakukan
komunikasi politik dengan para tokoh agama tersebut.
Ketiga, kehadiran para aktivis LSM di kantor PP Muhammadiyah yang menyampaikan 18 kebohongan pemerintah (Detik.Com, 10/01/2011) tersebut
nampaknya telah mengundang kecurigaan pemerintah. Skenario macam apa
di balik kerjasama antara tokoh lintas agama dan para aktivis tersebut?
Benarkah 18 kebohongan yang disampaikan oleh para aktivis tersebut
merupakan pernyataan murni dan bulat dari sembilan tokoh lintas agama
yang hadir dalam pertemuan tersebut?
Keempat,
barangkali yang membuat Presiden SBY merasa sangat terpukul adalah
karena tuduhan kebohongan yang ditujukan kepadanya tersebut disampaikan
oleh para tokoh agama, penjaga moral yang dipercaya oleh masyarakat dan
tidak mungkin bermain-main dengan ucapan mereka. Kalau seruan bohong
itu disampaikan oleh para aktivis LSM yang sedang berdemo, itu sudah
lumrah dan karenanya pemerintah tidak resah. Pemerintah juga tidak
resah ketika tahun lalu para aktivis Gerakan Indonesia Bersih (GIB) dan
kelompok petisi 28 menuntut Presiden SBY untuk mundur. Demikian pula
pemerintah tidak merasa resah ketika 25 Agustus 2010 lalu sejumlah
Jenderal purnawirawan menyampaikan keresahan serupa yang disampaikan
oleh para tokoh lintas agama dan meminta Ketua MPR Taufik Kiemas untuk
menggelar Sidang Istimewa MPR apabila presiden terus menerus mengingkari
UUD 1945 (asli). Tetapi nampak secara jelas pemerintah tak mampu lagi
menutupi kegelisahannya ketika mendengar berita tentang pernyataan
sembilan tokoh lintas agama bahwa (pemerintahan) SBY telah melakukan
banyak kebohongan kepada rakyatnya. Komunikasi politik dan dialog pun
lalu digelar untuk mencegah meluasnya konflik terbuka antara pemerintah
dan para tokoh lintas agama.
Pernyataan yang Belum Bulat?
Dari
hasil komunikasi politik yang dilakukan oleh Daniel Sparringa dengan
sejumlah tokoh lintas agama akhirnya ditemukan sejumlah fakta, antara
lain bahwa pernyataan tentang 18 kebohongan yang konon disampaikan oleh
sejumlah aktivis LSM yang tergabung dalam GIB tersebut masih berbentuk
draf dan belum ditandatangani oleh sembilan tokoh lintas agama.
Pemerintah juga merasa lega ketika salah seorang tokoh lintas agama,
Franz Magnis Suseno, menyampaikan klarifikasi bahwa para tokoh lintas
agama tidak bermaksud mengatakan bahwa Presiden SBY telah berbohong.
Selain itu, ketegangan antara pemerintah dan tokoh lintas agama semakin
mencair ketika para tokoh lintas agama "meralat" pernyataan tentang 18
kebohongan pemerintah tersebut menjadi tujuh pernyataan sikap para tokoh
lintas agama yang dibacakan secara langsung dalam pertemuan mereka
dengan pemerintah pada tanggal 17 Januari 2011 malam hari.
Benarkah Sikap Tokoh Lintas Agama Melunak?
Adalah
menarik untuk melihat tujuh butir pernyataan para tokoh lintas agama
yang disampaikan kepada pemerintahan SBY-Boediono karena bagaimanapun
dialog-dialog yang akan dilakukan oleh pemerintah dan tokoh lintas agama
harus mengacu pada butir-butir pernyataan tersebut. Butir pertama
merupakan pernyataan syukur karena setelah 66 tahun merdeka NKRI masih
bisa bertahan utuh, walaupun harus diakui bahwa belum semua warganya
menikmati kemerdekaan yang utuh.
Mengacu
pada cita-cita para pendiri bangsa sebagaimana tertulis dalam pembukaan
dan batang tubuh UUD 45, yakni kemerdekaan sejati yang mewujudkan
keadilan dan kemakmuran bagi setiap anak bangsa, butir kedua
menggarisbawahi masih terjadinya kekerasan atas nama agama dan kelompok
terhadap terhadap umat beragama dan berkeyakinan, terhadap kebebasan
berpendapat dan insan pers yang masih tampak dibiarkan oleh negara.
Dalam hal ini saya kira pemerintah harus menjelaskan mengapa kekerasan
atas nama agama dan kelompok tersebut masih terus terjadi dan, ini
mungkin yang terpenting, masih tampak dibiarkan terjadi. Dalam jangka
panjang pemerintah mungkin sulit untuk mencegah terjadinya kekerasan
dimaksud, tetapi pemerintah harus menjamin bahwa kekerasan tersebut
tidak akan dibiarkan terjadi dan frekuensi kejadiannya harus semakin
menurun. Barangkali tantangan yang tidak mudah diatasi oleh pemerintah
adalah terkait dengan praktik-praktik ajaran sesat yang meresahkan
masyarakat di sekitarnya. Tetapi saya percaya dengan bantuan dan
dukungan penuh dari para tokoh lintas agama pemerintah pasti akan mampu
mengatasinya. Hal lain yang ingin saya tambahkan di sini adalah
tentunya pemerintah juga tidak boleh membiarkan terjadinya
kekerasan-kekerasan lain yang tidak disebutkan dalam pernyataan tokoh
lintas agama tersebut.
Butir
ketiga pernyataan tokoh lintas agama menyampaikan, antara lain yang
pokok adalah, masih banyaknya rakyat miskin yang tidak mendapatkan
layanan kesehatan dan layanan pendidikan yang memadai dari pemerintah
sehingga banyak yang meninggal dunia dan putus sekolah. Di sini secara
tidak langsung tokoh lintas agama bermaksud mengingatkan pemerintah agar
pertambahan atau penurunan kemiskinan jangan hanya dilihat dari angka
prosentase, tetapi juga dilihat dari angka absolut jumlah orang miskin.
Jangan hanya melihat orang miskin yang berada di bawah garis
kemiskinan, tetapi juga orang miskin yang berada di atas garis
kemiskinan yang setiap saat rentan berubah menjadi berada di bawah garis
kemiskinan. Dalam konteks inilah kita bisa memahami mengapa jumlah
orang miskin yang menerima layanan bantuan beras untuk rakyat miskin (70
juta) dan jumlah orang miskin yang menerima layanan jaminan kesehatan
masyarakat (76, 4 juta) lebih banyak dari jumlah orang miskin yang
berada di bawah garis kemiskinan (31,02 juta).
Mengenai
masalah banyaknya orang miskin yang meninggal karena kelaparan atau
karena tidak mendapatkan layanan kesehatan gawat darurat dari rumah
sakit, saya kira Kementerian Kesehatan atau unit pemerintah lainnya yang
menanganinya seharusnya melakukan monitoring, sosialisasi dan
tindakan-tindakan preventif agar supaya jumlah kasus-kasus tersebut
dapat dikurangi. Barangkali dapat juga dipertimbangkan untuk mendirikan
semacam rumah-rumah pengaduan yang selain menerima pengaduan dari
masyarakat tentang kasus tersebut juga dapat memberikan jasa konsultasi
tentang layanan kesehatan pemerintah untuk kelompok masyarakat miskin.
Dalam hal ini diharapkan anggota badan pekerja tokoh lintas agama dapat
berpartisipasi untuk menyampaikan data dan informasi dalam rangka
meningkatkan layanan kesehatan bagi kelompok masyarakat miskin. Kecuali
kalau mereka mempunyai misi dan agenda kerja lain yang lebih penting dan
mendesak.
Dalam
butir keempat tokoh lintas agama menggarisbawahi pendapat banyak ahli
ekonomi yang menyatakan bahwa kebijakan ekonomi saat ini bertentangan
dengan amanat pembukaan dan batang tubuh UUD. Sumber daya alam belum
dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan perusakan
terhadap lingkungan hidup terus terjadi.
Dari
sekian banyak kebijakan ekonomi pemerintahan SBY-Boediono yang ada saat
ini saya yakin yang dimaksud oleh tokoh lintas agama adalah kebijakan
ekonomi neoliberal yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat jelata
sesuai dengan amanat pasal 33 UUD 1945. Saya kira merupakan hal yang
masih dapat diperdebatkan tentang sejauhmana Indonesia saat ini telah
menerapkan ekonomi pasar bebas. Dalam beberapa kali kesempatan kita
mendengar pernyataan dari beberapa pengamat ekonomi kita bahwa Indonesia
bahkan lebih liberal dibandingkan dengan Amerika Serikat yang notabene
merupakan negara yang paling vokal dalam mengkampanyekan ekonomi pasar
bebas. Namun Index of Economic Freedom 2010 yang disusun oleh lembaga think-thank Heritage Foundation dan The Wall Street Journal
menempatkan Indonesia pada peringkat ke-116 dari seluruh negara di
dunia, sementara Amerika Serikat berada pada peringkat ke-9. Meskipun
demikian, lagi-lagi keprihatinan yang disampaikan oleh tokoh lintas
agama tentang bencana bagi rakyat yang ditimbulkan dari penerapan
ekonomi pasar bebas dan keberpihakan pembangunan pada segelintir orang
kaya adalah fakta yang tak terbantahkan yang menuntut penyelesaian.
Bahkan meskipun indikator statistik telah memperlihatkan kinerja yang
lebih baik.
Butir
kelima pernyataan tokoh lintas agama menyatakan bahwa meskipun
konstitusi menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum tetapi dalam
pelaksanaannya hukum ternyata masih bisa dibeli dengan uang. Perang
melawan korupsi hanya akan berhasil apabila prinsip pembuktian terbalik
diterapkan secara penuh.
Saya
kira dalam hal ini pemerintah harus menyampaikan penjelasan secara
jujur kepada publik tentang kompleksitas permasalahan korupsi, termasuk
penanganannya, dan apa strategi yang akan dilakukan pemerintah untuk
mengatasi masalah penegakan hukum dan korupsi yang telah menggurita dan
saling mengkait tersebut. Harus diakui bahwa perang melawan korupsi
memang membutuhkan waktu yang sangat lama, bahkan mungkin tidak akan
pernah selesai. Meskipun demikian pemerintah, unit-unit lembaga penegak
hukum dan unit-unit pemerintah lainnya, harus menyampaikan time-frame dan indikator kinerja yang jelas dan secara berkala menyampaikan laporan akuntabilitas kinerjanya kepada publik.
Mengenai
penerapan prinsip pembuktian terbalik, meskipun masih ada pro-kontra,
hal tersebut memang bisa menangkap lebih banyak koruptor secara lebih
cepat. Sayangnya hingga kini pembuktian terbalik masih dibiarkan
terus-menerus hanya sebagai wacana. Kalau kita serius dalam
pemberantasan korupsi semestinya RUU Pembuktian Terbalik yang pernah
diajukan pada masa pemerintahan Presiden Gus Dur harus segera kita
tindaklanjuti. Satu hal yang perlu saya ingatkan terkait dengan kalimat
terakhir dalam butir 5 adalah hendaknya kita jangan berharap secara
berlebihan bahwa penerapan prinsip pembuktian terbalik akan dapat
menuntaskan perang melawan korupsi. Karena para koruptor akan selalu
memikirkan cara-cara lain yang lebih efektif untuk menghilangkan jejak
korupsinya.
Butir
keenam menyatakan bahwa pemerintah tidak memberi perhatian memadai
terhadap korban pelanggaran HAM yang berat. Selain itu, pemerintah tidak
mampu dan tidak menunjukkan niat untuk membela begitu banyak buruh
migran yang mendapat perlakuan buruk di berbagai negara. Padahal
pembukaan UUD 45 mewajibkan pemerintah untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia.
Pada
umumnya kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat terjadi di masa
pemerintahan Orde Baru, antara lain kasus Trisakti dan Semanggi, tragedi
27 Juli, penghilangan paksa aktivis 1997-1998, DOM Aceh, dan kasus
1965-1966. Lamanya waktu kejadian dan banyaknya para korban dan pelaku
yang terlibat merupakan faktor penghambat utama mengapa kasus-kasus
tersebut sulit diteruskan ke pengadilan. Meskipun demikian, memang
benar seharusnya pemerintah di era reformasi memberi perhatian yang
memadai terhadap korban pelanggaran HAM tersebut. Permasalahannya,
sejauhmana dan dalam bentuk apa perhatian pemerintah tersebut harus
diberikan kepada para korban? Saya percaya para tokoh lintas agama
pasti dapat memberikan masukan yang berharga kepada pemerintah.
Perihal
minimnya upaya pemerintah untuk membela para buruh migran yang
mendapatkan perlakuan buruk, menurut saya, pemerintah seharusnya
merespon dengan memberikan penjelasan secara transparan sejauhmana
perlakuan buruk terhadap buruh migran tersebut telah dibelanya dan
mengapa pemerintah tidak melakukan tindakan-tindakan pembelaan
sebagaimana yang diharapkan, misalnya, oleh Migrant Care. Sekali lagi
saya ingin menambahkan bahwa pemerintah juga semestinya melindungi nasib
para buruh kita di dalam negeri, antara lain melalui upaya penetapan
upah minimum yang lebih baik dan upaya pembelaan terhadap para buruh
yang mendapatkan perlakuan buruk dari perusahaannya.
Butir
ke tujuh yang merupakan butir terakhir dari pernyataan tokoh lintas
agama menegaskan bahwa kenyataan yang telah disampaikan pada butir-butir
sebelumnya adalah bentuk pengingkaran terhadap UUD 45. Oleh sebab itu
kita harus mendesak pemerintah untuk menghentikan pengingkaran itu.
Apabila pemerintah menolak atau mengabaikan desakan tersebut, berarti
pemerintah melakukan kebohongan publik.
Ada
beberapa hal yang menarik dalam butir terakhir pernyataan tokoh lintas
agama tersebut. Pertama, apabila benar pernyataan tokoh lintas agama
bahwa pemerintah telah mengingkari, melanggar atau mengkhianati amanat
UUD 45, maka hal tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu masuk menuju
ke arah pemakzulan. Secara terpisah Syafii Maarif pernah secara tegas
mengatakan bahwa kebijakan pemerintah saat ini yang cenderung pada
neoliberalisme (pasar bebas yang tidak terkendali) adalah sebuah
pengkhianatan yang harus cepat dihentikan. Walaupun salah salah satu
tokoh lintas agama Franz Magnis Suseno mengingatkan para pengkritik
pemerintah yang sering menggunakan wacana neoliberalisme sebagai alat
pemukul agar berhati-hati memahami dan mencermati kompleksitas
permasalahan yang terkait dengan kebijakan ekonomi pemerintah tersebut.
Terkait dengan isu upaya pemakzulan atau kemungkinan tokoh lintas agama
ditunggangi oleh kelompok tertentu secara tegas telah dibantah oleh para
tokoh lintas agama. Meskipun awal tahun 2010 lalu para aktivis GIB,
organisasi yang mendukung dan bekerjasama dengan gerakan tokoh lintas
agama, pernah menuntut Presiden SBY untuk mundur. Sebagaimana kita
ketahui, GIB dimotori antara lain oleh Adhie Massardi, Ray Rangkuti,
Yudi Latif, dan Efendi Gazali.
Kedua,
kalau kita cermati pernyataan butir 1 sampai 6 yang disampaikan oleh
tokoh lintas agama nampaknya sebagian besar dari ha-hal yang disebut
sebagai "pengingkaran terhadap UUD 45" tersebut sebenarnya lebih
merupakan kegagalan pemerintah untuk mencapai cita-cita sebagaimana
tersebut dalam UUD 45, perbedaan pandangan ideologi, atau perbedaan
penafsiran terhadap amanat UUD 45 antara pemerintah dan tokoh lintas
agama. Kalau memang demikian, barangkali sejak rezim Presiden Soekarno
sampai rezim Presiden Megawati belum ada satu rezim pun di Indonesia
yang telah berhasil bebas dari "pengingkaran terhadap UUD 45". Lalu,
mengapa tokoh lintas agama memilih kata "pengingkaran terhadap UUD 45"
yang lebih bersifat provokatif yang notabene merupakan bahasa politik,
dan bukan bahasa yang biasa-biasa saja yang mudah dicerna oleh publik
seperti "masalah-masalah serius yang harus segera diselesaikan oleh
pemerintah"?. Apakah karena pilihan kata tersebut mengandung makna
persoalan yang substantif, atau sekadar untuk menarik perhatian
publik?
Ketiga,
pada kalimat terakhir butir 7 disebutkan bahwa jika pemerintah menolak
atau mengabaikan desakan (tokoh lintas agama) untuk segera mengakhiri 6
butir "pengingkaran terhadap UUD 45" sebagaimana tersebut di atas,
berarti pemerintah melakukan kebohongan publik. Kalimat pengandaian
tersebut dapat pula dimaknai bahwa kalau pemerintah bersedia menerima
desakan tersebut, berarti pemerintah tidak melakukan kebohongan publik.
Terlepas apakah pada saat perumusan pernyataan tersebut para tokoh
lintas agama dipengaruhi oleh suasana pro-kontra di masyarakat yang
cukup menegangkan dan pertimbangan bahwa pernyataan tersebut akan
dibacakan secara langsung di hadapan Presiden SBY dan para anggota
kabinetnya di Istana Negara, bagi saya pernyataan tersebut merupakan
sikap yang lebih melunak dari para tokoh lintas agama, terutama bila
dibandingkan dengan pernyataan mereka sebelumnya tentang 18 kebohongan
pemerintahan SBY
Hal
lain yang menarik adalah jika pada pernyataan sebelumnya yang
disampaikan di kantor PP Muhammadiyah lebih ditekankan pada butir-butir
kebohongan pemerintah, dimana sebagian besar disebutkan secara eksplisit
merupakan kebohongan Presiden SBY, pada pernyataan tokoh lintas agama
yang dibacakan di Istana Negara lebih ditekankan pada butir-butir
pengingkaran terhadap UUD 45, walaupun butir 1 dan butir 3 tidak
disebutkan secara eksplisit keterkaitannya dengan UUD 45. Selain itu,
jika pernyataan 18 kebohongan pemerintahan SBY nampaknya telah berhasil
"menampar" Presiden SBY, maka kalimat pengandaian tentang kebohongan
pemerintah tersebut di atas dan pernyataan tokoh lintas agama bahwa
mereka tidak bermaksud mengatakan Presiden SBY berbohong secara tidak
sengaja telah "mempermalukan" para tokoh lintas agama itu sendiri.
Dapatkah Dialog Menjadi Solusi?
Setelah
konflik antara pemerintahan Presiden SBY dan tokoh lintas agama telah
memasuki ruang publik, lalu apa yang harus mereka lakukan? Ketika
konflik muncul biasanya komunikasi, dialog, atau diplomasi merupakan
salah satu cara untuk menyelesaikannya. Dalam dialog biasanya ada
proses klarifikasi untuk meluruskan kemungkinan kesalahpahaman dan
mungkin dilanjutkan dengan penandatanganan beberapa kesepakatan atau
kerjasama yang harus dipatuhi atau ditindaklanjuti oleh kedua pihak.
Sejauh ini kita sama sekali belum melihat adanya kesepakatan yang telah
dibuat oleh Presiden SBY dan para tokoh lintas agama. Sementara
sejumlah aksi para aktivis GIB telah dilakukan untuk mencari simpati dan
menarik perhatian publik.
Dialog
bisa saja gagal mencapai tujuan karena kandas di tengah jalan.
Kepentingan ego, ketidakjujuran, dan perbedaan latar belakang pendidikan
biasanya merupakan faktor utama yang dapat menghambat upaya untuk
menemukan titik temu di antara kedua pihak. Untuk berdiskusi tentang
masalah-masalah kebijakan politik, ekonomi dan hukum pasti tidak akan
efektif kalau dilakukan oleh Presiden SBY dan para tokoh lintas agama.
Dalam hal ini saya menyarankan agar kelompok badan pekerja tokoh lintas
agama dapat melakukan diskusi dengan mereka yang mewakili pemerintah
sesuai dengan bidang dan kompetensinya.
Selain
itu, diskusi atau dialog yang mereka lakukan tidak akan mampu meredam
konflik apabila dialog tersebut tidak menghasilkan
kesepakatan-kesepakatan yang mengikat kedua pihak, termasuk pengenaan
sanksi apabila dilakukan pelanggaran. Saya menyarankan agar semua hasil
kesepakatan tersebut juga disampaikan kepada publik. Maksud saya, agar
masyarakat dapat berperan sebagai saksi dan sekaligus dapat mengawasi
pelaksanaan kesepakatan yang dilakukan oleh kedua pihak. Kita tunggu
saja apakah dialog antara pemerintah dan tokoh lintas agama akan
menghasilkan sejumlah kesepakatan atau berujung pada jalan buntu. Hasil
dari dialog yang mereka lakukan akan menentukan apakah konflik akan
dapat dihentikan atau berlanjut dalam eskalasi yang mungkin lebih
mencekam.
Akankah Konflik Berubah Menjadi Bola Salju?
Konflik
yang kita saksikan antara para tokoh lintas agama dan Presiden SBY
tersebut telah mendorong saya untuk memberikan beberapa catatan sebagai
berikut. Pertama, pemerintah resah karena para tokoh lintas agama
resah. Padahal apa yang mereka resahkan tersebut sesungguhnya bukanlah
suatu kondisi yang sudah sangat gawat bagi kelangsungan hidup bangsa
sebagaimana yang mereka bayangkan, atau bukanlah merupakan substansi
permasalahan yang sebenarnya. Kedua, konflik terbuka yang seharusnya
tidak perlu terjadi tersebut patut disesalkan karena dilakukan oleh para
tokoh dan pemimpin kita yang seharusnya memberikan contoh sikap dan
perilaku yang baik kepada masyarakat. Bagaimana kita bisa berharap
supaya semua kelompok masyarakat kita yang berbeda suku, strata, budaya
dan agama bisa hidup rukun berdampingan kalau sikap dan perilaku para
tokoh dan pemimpin kita tidak layak untuk dijadikan sebagai panutan.
Ketiga, apabila tidak dapat dikendalikan secara efektif, eskalasi
konflik yang melibatkan para tokoh dan pemimpin kita tersebut dapat
berkembang menjadi bola salju yang dapat meruntuhkan sendi-sendi tatanan
kenegaraan dan demokrasi kita yang telah dengan susah payah kita bangun
dan pelihara.
Menurut
duo "Faisal dan Chatib" Basri, tahun 2011 adalah kesempatan emas bagi
Indonesia. Kita tentu tidak ingin lagi menyia-nyiakan kesempatan emas
tersebut dengan membuang-buang waktu dan energi kita secara percuma
untuk mengatasi kegaduhan politik yang penuh dengan intrik, sebagaimana
yang terjadi pada tahun sebelumnya. Diperlukan strategi dan
langkah-langkah antisipasi yang efektif untuk secara cepat menghentikan
kegaduhan politik yang akan terjadi pada tahun ini yang, menurut seorang
pengamat politik, mungkin akan lebih ganas dari tahun sebelumnya.
Sebelum terlambat, kita harus segera menghentikan suara gaduh yang
ditimbulkan oleh "nyanyian kebohongan" para tokoh dan pemimpin kita.
Diberdayakan oleh Blogger.