Archive for 2013-12-29

Why Indonesia may (or not) revisit the Asian crisis

Sabtu, 04 Januari 2014
Posted by Witarsanomic


The year 2013 was not the brightest for many emerging economies, including Indonesia. While in 2012 Indonesia reached its “usual” 6 percent economic growth, thanks to its large consumer economy and growing middle class, prospects are bleak for 2014. 

In the last few months of 2013, the rupiah, along with other soft currencies, suffered severe depreciation. The value of the rupiah has plunged dramatically since the beginning of the year, which has damaged market confidence. 

The rising middle class helped Indonesia weather the 2008 crisis, but in 2013 it may have contributed to our blooming “crisis”.

This pattern is similar to that of the economic crisis in 1998. During the 1990s, Indonesia’s economic boom crashed as investors pulled out their dollars from the domestic market, leading to a liquidity crisis. Massive bankruptcies 
occurred because the increasing burden of dollar-denominated debt. 

The International Monetary Fund (IMF) stepped in and forced the central bank to increase the interest rate, resulting in another wave of pivot sector collapses. While the IMF had contributed to escalating the economic crisis, the options were limited as Indonesia had to restore faith in its currency.

The situation in 2013 resonates with the situation in 1998 where market confidence diminished due to currency depreciation. A weakening currency is ideally good for exports. In a perfect market, the market will correct itself as exports increase, a country will gain from surplus and new foreign reserves and the currency will strengthen again and find a new level of equilibrium.

But at the moment Indonesia is enjoying a double-edged economic boom. Mass consumption stimulates economic growth, but the economic fundamentals are not completely ready for a mass consumer economy. Take a look at the food sector: Indonesia has the serious problem of not being able to produce its own food sufficiently. 

As the largest rice consumer in Southeast Asia, Indonesia is very vulnerable to crop failures because people are reluctant to switch to other staple foods. When local rice production cannot fulfill the domestic market demand, rice has to be imported to pick up the slack. 

It is also the largest producer of instant noodles, and Indonesia is one of the biggest noodle consumers in the world; however, the industry depends entirely on imported wheat. This year, Indonesia has also suffered from rising prices of beef and onions due to protectionist sentiment.

While Indonesian decision makers have coordinated to issue appropriate policies to tackle this situation, options are limited because Indonesia has ratified various free trade pacts. Indonesia cannot unilaterally impose tariff barriers as they would violate its international treaties. 

It has become prisoner of its own free-trade treaties and may end up as a loser in the free-trade game.

So far, the government has introduced various policies to offset this problem, such as increasing taxes on luxury goods, reducing oil imports and stopping the export of raw minerals starting next month. The central bank has also eased its restrictions to ensure banks and exporters can increase liquidity. 

However, these short-term policies do not address the fundamental problems in the Indonesian economy. The policies could help temporarily offset the painful trade deficit and weakening currency, but they are not enough. Medium-term or long-term strategic policies have to be formulated to address the real problems instead of the symptoms. 

For example, the state should give incentives (such as easy credit) to vulnerable sectors and small and medium enterprises affected by the free trade pacts. 

Unfortunately, financial institutions tend to give easier access to consumer activities instead of loans for small and medium enterprises.

The major difference between 1998 and now is that the Indonesian rupiah is now managed under a floating exchange rate regime. 

The central bank no longer needs to dip into its foreign reserves as aggressively as before to defend the rupiah’s rate. 

In the worst case scenario, Indonesia may need to ask for another liquidity injection from other sources, though the IMF is no longer the only option. The central bank has signed bilateral swaps with other central banks. 

There is also the Chiang Mai Initiative, which provides liquidity from pooled foreign reserve currencies from the ASEAN+3 members with less draconian conditionality.

While the situation is not as severe as in 1998, the current “crisis” is an opportunity to examine what is wrong with Indonesia’s economy. 

Namely, a consumption-based economy is not always viable in a country with a weak currency and a high import rate. It triggers overheating in the economy that could end with a crash. 

The reality of 2013 has shed light on the weak foundation of Indonesia’s consumption-based economy. It is fragile because of its over-dependence on imported goods. Indonesians consume more than they produce. Mass consumption will not be sustainable in the long run if the export sector remains sluggish.

The Indonesian middle class has helped to shelter the country from 2008 crisis, but it has also contributed to the trade deficit, because it is easier to import and consume rather than to produce and export.

Financial institutions also more aggressively disbursing loans for consumption instead of loan for small and medium enterprises. 

Perhaps the 2013 “crisis” is a signal for decision makers to pay more attention to the export sector, to introduce strategic long-term policies and a wake-up call to not be disillusioned by Indonesia’s autopilot economy and rising middle class.

Mistisisme Waktu

Posted by Witarsanomic
 
TAHUN 2014 telah datang. Tahun 2013 kita tinggalkan bersama kenangan dan setumpuk kekurangan.

Awal tahun kita sambut dengan harapan bahwa tahun-tahun yang akan kita lalui adalah semburat fajar yang akan mempercepat terwujudnya hidup menemukan adabnya. Tahun baru dengan terhunjamkannya spirit ”kelahiran kembali”: lahir dengan kesadaran baru.

Kelahiran dan kebaruan hakikatnya adalah khitah agama yang bukan saja diusung Al-Masih, juga digelorakan semua nabi, termasuk Muhammad SAW. Sebuah kearifan abadi dan melintasi batas-batas agama dan budaya (al-hikmah al-khalidah).

”Lahir” sebagai simbol terlepasnya diri (dan bangsa) dari sekapan kegelapan, dari keyakinan menikung yang tak membawa pencerahan dan dari gelegak nafsu yang dapat menjungkalkan marwah kemanusiaan ke tubir kehinaan. Dan, ”baru” sebagai metafora kehidupan dengan semangat yang berbeda dari sesuatu yang kita anggap ”lama”.

”Baru” itu interaksi simboliknya dapat merujuk kepada situasi politik yang memuliakan  akal budi, ekonomi yang berporos pada terdistribusikannya rasa keadilan merata. Lebih luas lagi, ”baru” itu bersatu dengan kebudayaan yang berjangkar pada etos penciptaan kebeningan batin (Cicero), keluhuran nalar (Raymond Williams), kekukuhan menjunjung tinggi nilai universal (Kant), daya imajinasi kreatif (Schiller), terus mengupayakan  terwujudnya masyarakat sempurna (EB Taylor) melalui gelegak daya kehidupan dengan membiarkan insting natural menemukan katupnya yang optimal (Nietzsche).

Tahun politik

Negara orde ”baru” tempo hari dikedepankan sebagai antitesis orde ”lama” yang dianggap serba ”mitologis”, terlampau ”politis”, dan hanya gaduh dengan orasi yang tidak menyentuh hajat hidup orang banyak. ”Bung Besar” harus ditumbangkan. Tragisnya, kebaruan yang ditawarkan justru berubah jadi ”mitos baru” yang tak kalah mengerikan. Selama 32 tahun hidup dalam suasana yang seolah-olah baru, padahal sesungguhnya dengan sempurna mewarisi mentalitas lama, mentalitas yang terpelanting jauh pada zaman-zaman kerajaan kuno ketika ruang publik dikelola secara turun-temurun (dinasti), antikritik, bebal,  dan korup.

Tahun 2014 bukan sekadar peralihan tahun baru, tetapi dalam konteks kebangsaan  kita sedang memasuki  tahun-tahun politik. Kita akan merayakan pesta demokrasi lima tahunan memilih secara langsung. Tahun politik bisa jadi bagi sebagian kalangan dilihat dengan waswas ketika persoalan daftar pemilih tetap masih simpang siur,  masyarakat yang kian apatis, dan kabar tiap hari mengenai politisi yang selalu berperilaku tak ubahnya para bandit: korup dan rakus.

Tentu semua harus tetap berjalan. Mesin waktu tidaklah bisa dihentikan. Heraclitos menyebutnya  panta rhei kai uden menei. ”Semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap. Engkau tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama”.
Tentu saja tak ada yang sempurna. Justru ketaksempurnaan ini yang jadi alasan utama pentingnya melakukan introspeksi di tahun baru. Menjadi modus eksistensial untuk merayakan pergantian tahun itu sendiri.

Hakikat tahun baru

Bukan sekadar perayaan kembang api, kenduri material, pesta semalam suntuk atau hura-hura yang acap kali menyisakan  upacara jadi tak cukup bermakna. Namun, perayaan peralihan tahun yang penuh kesungguhan, mengacu pada etos kebaktian sekaligus sebagai ekspresi pemujaan pada Sang Pemilik Waktu.

Tahun baru jadi pintu masuk meraih pembebasan sekaligus momen meneguhkan sikap keterbukaan dan penegasan. Bagaimanapun, manusia meriwayatkan konsep dirinya sepenuhnya melalui waktu. Salah satunya lewat fragmen peralihan tahun, melalui renungan tentang hari- hari yang dianggap memiliki nilai tak ubahnya Natal dan lain sebagainya.

Ini juga barangkali yang jadi alasan metafisis, dalam ajaran Islam, Tuhan banyak bersumpah menggunakan diksi yang berdimensi waktu. Sebut saja: demi masa (wal ashri), demi malam (wal laili), demi siang (wan nahari), demi fajar (wal fajri), demi bulan (wal qamari), demi matahari (wasy syamsi), demi waktu duha (wadh dhuha). Kata sang Nabi, ”Dua hal yang acap kali terabaikan dalam kehidupan manusia: sehat dan peluang.”

Tidak mungkin Tuhan sampai bersumpah segala, kecuali di seberangnya terhamparkan realitas yang dianggap penting dan harus jadi perhatian seluruh ciptaannya. Hanya manusia (pejabat) yang menganggap sumpah tidak penting sehingga sumpah pun berubah jadi sampah.  Kesadaran waktu mistis sekaligus fana inilah yang bikin Chairil Anwar ingin hidup seribu tahun lagi, sekaligus menggerakkan seorang Amir Hamzah di pengujung usianya menulis penuh kesunyian: ”Lalu waktu-bukan giliranku… menapaki waktu, mencipta jejak sambil menunggu giliran yang barangkali masih jauh”.

Tahun Baru

Selasa, 31 Desember 2013
Posted by Witarsanomic
 
Tahun baru segera tiba. Banyak yang merasa, waktu berjalan begitu cepat, time flies. Ke mana saja hari? Tiba-tiba sudah akhir tahun dan di depannya tahun baru lagi.

Ah, kita semua sebenarnya ditelan kecepatan. Kecepatan adalah gejala paling menonjol dari kehidupan mutakhir kita. Kita semua pemuja kecepatan. Sesuatu yang lambat, kita keluhkan: internet lelet banget, filmnya lamban jelek, masakannya enak tapi nunggunya lama, jawabannya tidak seketika terlalu mikir, kereta pelan tak sampai-sampai....

Semua orang ingin lebih cepat dan lebih cepat lagi. Kerja lebih cepat, terhubung lebih cepat, berpikir lebih cepat, ngomong lebih cepat, bercinta lebih cepat, hamil lebih cepat—sampai tak sempat berpikir, hamil ini karena terpaksa atau suka bin senang?

Kecepatan dan konsumerisme jalin-menjalin menjadikan apa saja terasa kurang. Ada midnite shopping, liburan, clubbing, nonton bioskop, pesta, berselingkuh, ditambah entah apa lagi. Waktu tetap saja terasa cupet. Padahal, pendidikan anak sudah diserahkan kepada babu. Hidup manusia modern adalah perjalanan dari kekecewaan ke kekecewaan karena apa yang ingin dijalani dan apa yang bisa dijalani makin lebar jaraknya.

Penghayatan kita terhadap waktu bukanlah sebagai siklus. Waktu dihayati sebagai sesuatu yang linear: melesat cepat ke depan. Bersama kecepatan pula kemudian sejumlah imperatif kehidupan hilang. Taruhlah di antaranya proses. Proses diganti sukses, yang datangnya kalau bisa seseketika mungkin. Pokoknya gampang. Tinggal petik.

Bagaimana caranya? Diomongkan. Mengalirlah kutipan, uraian, fasih, diungkapkan sambil mesem-mesem, seolah hidup melulu gejala kata-kata, bukan pelaksanaan segenap aktivitas diri yang di dalamnya termasuk pikiran, tubuh, dan spiritualitas manusia. Bahwa sebagaimana gejala alam, totalitas manusia tak bisa digenjot kecepatannya semudah kata-kata para penganjur produktivitas industri kapitalis. Pret.

Ada sesuatu yang sifatnya alamiah. Tidak ada bayi yang dengan seketika bisa disuruh tegak berdiri dan langsung berlari. Harus terjadi pengondisian tubuh terlebih dahulu, sebelum tubuh bisa diperintah otak untuk melakukan gerak-gerak motorik. Atau sebaliknya, pada fase berikut, kadang dibutuhkan pengondisian otak, untuk tidak terlalu mengintervensi tubuh. Kalau otak terlalu mengintervensi tubuh, orang jadi sulit tidur, stres, mau bercinta loyo karena masih mikirin anjlognya harga saham.

Sejak awal, modernitas memang berkecenderungan mereduksi gejala tubuh. Manusia gerak menjadi manusia duduk. Kota dan metropolitan lahir.
Bersama perkembangan urbanisme, manusia terpisahkan dari alam. Manusia urban tidak mengolah alam. Mereka secara perlahan mulai lupa keterkaitannya dengan alam yang menghidupinya.

Hinterland, desa-desa di sekeliling kota sumber daya pertanian, dilupakan keberadaannya. Dalam globalisasi, keterkaitan kota-desa kian hilang dari memori. Soalnya, jarak antara produsen bahan makanan dengan piring orang kota kian jauh. Beras yang dimakan orang Jakarta berasal dari Thailand. Jeruk dari China. Kopi dari Brasil.

Kalau orang kota kembali ke desa, keinginannya bukan untuk mengolah alam, melainkan mengonsumsi romantisme desa. Banyak teman saya membeli tanah di desa-desa di kota lamanya, sebelum nantinya hengkang, karena kenyataan tidaklah seperti kenangan. Tidak tahu lagi, apa yang harus diperbuat dengan kesenyapan. Sudah terlalu terbiasa dengan kecepatan, hiruk-pikuk, dan gebyar-gebyar palsu.

Di akhir tahun seperti sekarang, kadang sulit saya menjawab pertanyaan orang: di mana tahun baru? Mau apa?

Pasti akan dianggap main-main kalau saya jawab seperti jawaban Guru: saya di sini saja. Karena saya di sini maka saya tidak di sini. Saya tidak melakukan apa-apa. Karena saya tidak melakukan apa-apa, maka saya melakukan apa-apa....
 
Sekalipun pada 2013 kita menghadapi banyak permasalahan ekonomi, kita tetap bersyukur dapat melaluinya dengan selamat. Tahun 2013 di- cirikan dengan inflasi yang tinggi sekitar 8,5 persen, nilai rupiah yang melemah sekitar 27 persen pada tingkatan sekitar Rp 12 ribu per dolar AS, dan pertumbuhan ekonomi yang menurun menjadi sekitar 5,8 persen.

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menyebabkan inflasi yang tinggi. Defisit transaksi berjalan di atas tiga persen dari produk domestik bruto (PDB) menyebabkan tekanan berat pada rupiah dan menurunnya investasi serta ekspor menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi.

Memasuki 2014 sekalipun dengan harapan ekonomi yang lebih baik, kita masih dihadapkan dengan tantangan yang tidak ringan.

Dari luar, rencana bank sentral Amerika Serikat (the Fed) untuk menurunkan stimulus dengan mengurangi pembelian obligasi yang lebih besar menyebabkan aliran modal ke luar dari negara berkembang, termasuk Indonesia, dan modal kembali ke AS. Hal ini menyebabkan tekanan masih akan berlangsung pada nilai rupiah. Kemungkinan the Fed akan menaikkan suku bunga pada pengujung 2014 yang memberi kan tekanan semakin besar pada rupiah.

Bank Indonesia (BI) masih mungkin menaik kan BI Rate untuk membuat nilai rupiah tidak terus merosot. Sementara, inflasi akan me nurun pada kecenderungannya, yaitu sekitar lima persen. Sekalipun demikian, hal tersebut menunjukkan prospek perbaikan ekonomi AS yang berpengaruh positif pada ekonomi dunia. Ekonomi Cina yang menjadi rekan perdagangan utama Indonesia kemungkinan juga akan membaik yang memberikan peluang peningkatan ekspor Indonesia. Ekonomi Jepang kemungkinan juga membaik yang juga menguntungkan bagi ekspor Indonesia. Ekonomi Eropa kemungkinan yang masih lemah karena masalah struktural yang sulit untuk diatasi.

Dengan ketidakpastian di tingkat global tersebut, dengan faktor positif dan negatifnya bagi ekonomi Indonesia, kita harus mempersiapkan diri dengan lebih baik memasuki 2014 sebagai masa transisi. Di dalam negeri, kekuatan pasar domestik yang didukung oleh konsumsi masyarakat masih kuat. Sektor telekomunikasi, perdagangan, dan keuangan masih memimpin dalam pertumbuhan sektoral. Sektor yang semestinya unggul, seperti manufaktur, pertanian, dan pertambangan, masih membutuhkan restrukturisasi untuk dapat kompetitif dan memperbaiki ketergantungan ekonomi yang besar pada impor serta dapat meningkatkan ekspor.

Tahun 2014 juga merupakan tahun politik. Perhatian pemerintah dan politikus adalah pada pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres). Ditambah dengan ketatnya tindakan antikorupsi maka inisiatif pemerintah akan semakin terbatas. Sedangkan, pemerintah baru akan terbentuk pada Oktober 2014 dan belum akan dapat berbuat banyak bagi perekonomian 2014. Karena itu, dapat kita katakan 2014 adalah juga sebagai masa transisi dari pandangan ekonomi-politik. Harapan lebih besar pada perkembangan ekonomi pada 2015.

Masa transisi 2014 semestinya juga dikaitkan dengan restrukturisasi ekonomi dari mengandalkan sumber daya alam kepada kemampuan dalam produksi di manufaktur dan pertanian yang terkait dengan nilai tambah global (global value chain). Indonesia dapat mendapatkan manfaat optimal dari perkembangan global dan dapat meminimalkan dampak negatifnya.

Bagi dunia usaha, memasuki 2014 semestinya juga lebih fokus pada menyesuaikan diri dengan perubahan ekonomi dengan bunga pinjaman yang lebih tinggi, nilai rupiah yang relatif lebih lemah, dan inflasi yang menurun. Pada paruh pertama 2014, ketidakpastian masih akan dihadapi dunia usaha. Namun, pada paruh kedua 2014, ekonomi akan membaik seiring dengan perbaikan ekonomi AS dan Cina.

Peluang usaha akan semakin terbuka. Apalagi, jika presiden terpilih dan pemerintahan baru sesuai dengan harapan masyarakat, prospek perekonomian akan lebih baik lagi. Bagi dunia usaha yang dapat mempersiapkan diri dengan baik pada masa transisi ini, akan mendapatkan manfaat besar pada perkembangan ekonomi 2015. Tentu saja, penyesuaian tidaklah mudah.

Bagi masyarakat pada paruh pertama 2014, masih meng hadapi inflasi yang tinggi, tapi pada paruh kedua, inflasi akan turun dan mendorong peningkatan konsumsi masyarakat. Terpilihnya presiden dan terbentuknya pemerintahan yang sesuai dengan kehendak masyarakat akan meningkatkan ekspektasi terhadap perbaikan ekonomi pada tahun transisi ini dan terbukanya kesempatan kerja dengan perkembangan investasi.

BUMN Untung, Negara Buntung?

Minggu, 29 Desember 2013
Posted by Witarsanomic


 
Uji materi terhadap Undang-Undang Keuangan Negara dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ke Mahkamah Konstitusi mendapat tanggapan beragam. Sebagian menganggap langkah tersebut sebagai upaya membuat lincah BUMN dalam berbisnis. Di lain pihak, ada kekhawatiran bahwa jika uji materi itu dikabulkan, peluang korupsi akan menjadi lebih besar di lingkungan entitas bisnis milik negara tersebut.

Koalisi untuk Akuntabilitas Keuangan (KUAK) Negara terang-terangan menyatakan khawatir. Mereka curiga bahwa uji materi tersebut merupakan modus elite partai dalam mencari biaya politik dari BUMN. Mereka juga mencurigai hal itu sebagai cara BUMN menyelamatkan diri dari pemeriksaan atau audit BPK. Bahkan, mereka mencurigai BUMN akan berbondong-bondong melakukan IPO (penawaran perdana saham) menjelang pemilu 2014.

Semua itu merupakan kekhawatiran yang berlebihan. Bahwa mereka khawatir akan pemisahan keuangan BUMN dengan keuangan negara, itu jelas sesuatu yang sah. Namun mengkaitkan uji materi dengan kebutuhan elite partai politik untuk menggali biaya pemilu bisa dianggap sebagai paranoia politik. Apalagi, mereka mengatakan BUMN akan menjadi sasaran perampokan karena tidak akan lagi diaudit BPK (Koran Tempo, Senin, 18 November 2013).

Uji materi sejumlah pasal dalam UU Keuangan Negara dan UU BPK itu bermula dari keprihatinan Ketua Pusat Kajian Masalah Strategis Universitas Indonesia (CSSUI) Prof Dr Arifin P. Soeria Atmadja, S.H. Beliau sangat bersemangat untuk membantu BUMN/BUMD agar bisa bergerak lincah dan bersaing seperti entitas bisnis swasta.

Dia menyatakan ada yang salah dalam pengaturan BUMN/BUMD sebagai lembaga bisnis. Dalam setiap forum, ia selalu mengatakan BUMN agak sulit bersaing dengan swasta. Sebab, dari sisi aturan, mereka diatur oleh lebih dari delapan undang-undang. Sedangkan perusahaan swasta hanya diatur maksimal tiga UU. Ini menyebabkan BUMN/BUMD tidak punya ladang bermain yang sama.

Apa saja regulasi yang mengatur BUMN? UU PT, UU Pasar Modal, UU Sektoral, UU BUMN, UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU Tipikor, serta UU Pemeriksaan Pengeluaran dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Khusus BUMD, masih ditambah UU Pemerintahan Daerah. Sedangkan perusahaan swasta hanya diatur oleh UU PT, UU Pasar Modal, dan UU Sektoral.

Prof Arifin pula yang getol menggalang dukungan untuk mengajukan permohonan uji materi. Bahkan, kegigihannya dalam memperjuangkan BUMN dan BUMD ini dibawa sampai beliau wafat. Dosen UI ini meninggal karena kelelahan setelah berdiskusi membahas materi di Hotel Borobudur, Jakarta. Ibaratnya, ia wafat di medan perjuangan saat gugatannya sedang dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi. Semoga Allah membalas amal baik beliau.

Di mata Prof Arifin, BUMN merupakan badan hukum privat, bukan badan hukum publik seperti pemerintah. Kekayaan BUMN adalah kekayaan BUMN itu sendiri, bukan kekayaan negara. Kepemilikan pemerintah bukan pada asetnya, melainkan pada jumlah sahamnya. Karena itu, kerugian BUMN/BUMD bukan kerugian negara, melainkan kerugian korporasi seperti perusahaan swasta.

Lantas bagaimana kalau terjadi penyimpangan? Jika terjadi penyimpangan pengelolaan sehingga terjadi kerugian, harus diselesaikan melalui pendekatan perdata lewat ganti rugi atau pengembalian kerugian. Jika yang bersangkutan tidak bisa menyelesaikan melalui mekanisme ganti rugi atau berkeberatan, baru dilakukan proses pidana.

Seringkali keberatan atas langkah Prof Arifin ini muncul hanya karena melihat modal yang disetor ke BUMN berasal dari APBN. Karena modalnya dari APBN, maka ia harus diperlakukan sebagai aset negara dan harus mengikuti regulasi lembaga publik. Alasan inilah yang selalu menjadi senjata mereka dalam mengajukan keberatan atas pemisahan kekayaan BUMN/BUMD dari kekayaan negara.

Tapi apakah harus demikian? Sebetulnya tidak. Gaji pegawai negeri yang diterima setiap bulan sudah tidak bisa disebut sebagai uang negara. Karena itu, ketika gaji itu sudah di saku pegawai dan dicopet, bukan berarti ia menghilangkan uang negara. Gaji yang telah dibayarkan telah menjadi milik pribadi dan pertanggungjawabannya juga pribadi.

Jika dicermati, baik yang menggugat UU Keuangan Negara dan UU BPK ke MK maupun yang menolak mempunyai semangat yang sama. Pihak penggugat membutuhkan revisi regulasi agar mereka lebih lincah dalam menjalankan roda bisnis BUMN dan BUMD. Dengan tidak adanya "ranjau regulasi" yang bisa mencelakakan pengurusnya, mereka berharap bisa bersaing dengan swasta dan bisa melipatgandakan kekayaan negara lewat bisnis yang digelutinya.

Sementara itu, pihak yang menolak gugatan tersebut punya semangat menjaga aset negara yang berada di BUMN/BUMD tidak hilang dan terus bertahan. Semangat keduanya tentu harus kita dukung bersama. Namun, dalam prakteknya, upaya mengontrol secara langsung itu menjadi kurang produktif, bahkan malah menghambat BUMN/BUMD menjalankan perannya sebagai pengungkit ekonomi nasional ataupun daerah.

Zakat Profesi Guru

Posted by Witarsanomic
 
Guru menjadi sebuah profesi yang semakin diminati sejak pemerintah mengalokasikan anggaran yang besar untuk peningkatan kesejahteraannya. Besarnya anggaran untuk keperluan ini pun tidak main-main, dari total anggaran fungsi pendidikan sebesar Rp 337 triliun di tahun 2013, pemerintah mengalokasikan Rp 43 triliun untuk tunjangan profesi guru. Data Pokok Pendidikan tahun 2012 menyebutkan, dari 2.744.379 orang guru yang ada, sejumlah 1.168. 405 orang telah tersertifikasi.

Apa yang telah dicapai ini, tentu saja tidak terlepas dari perjuangan para guru sendiri melalui organisasi profesi yang telah mulai menampakkan geliatnya pasca reformasi berlangsung. Tumbuh suburnya berbagai macam organisasi profesi guru membuat guru tidak kehilangan suaranya. Karena kenyataannya suara guru terlalu lama dibungkam untuk kepentingan politik para penguasa.

Merujuk dari keberhasilan para guru memperjuangkan hak-haknya untuk mendapatkan penghargaan yang sepadan dengan profesi lainnya, maka organisasi ini pasti juga akan mampu jika kini saatnya guru berbalik memberikan hak-hak orang lain melalui tunjangan profesi yang telah didapatnya tersebut. Satu program mengenai pemungutan dan pendistribusian zakat tunjangan profesional dapat dilahirkan melalui organisasi profesi guru ini.

Zakat yang bersumber dari tunjangan profesi guru-guru muslim jika dikelola secara terpusat bukan tidak mungkin akan memberikan kontribusi bagi peningkatan perekonomian masyarakat Indonesia. Seorang guru negeri dan impassing menerima tunjangan profesi sebesar satu kali gaji dalam setiap bulannya. Artinya tambahan pendapatannya tersebut bisa masuk nishab yang dipersyaratkan. Maka di dalam tunjangan profesi tersebut terdapat hak-hak orang lain yang harus guru muslim sadari untuk diberikan kepada yang berhak.

Seperti diketahui, satu diantara prinsip-prinsip ekonomi Islam adalah distributive justice yang berguna untuk membangun keadilan sosial dan ekonomi yang lebih besar melalui redistribusi penghasilan dan kekayaan yang lebih sesuai untuk kelompok miskin dan kelompok yang membutuhkannya.

Jika diasumsikan jumlah guru muslim di seluruh Indonesia ada sekitar 90 persen, maka akan didapatkan jumlah sebanyak Rp 38,7 triliun. Selanjutnya dapat dihitung potensi zakat yang dapat dikumpulkan pada tahun 2013 adalah sebesar 2,5 persen dari jumlah tersebut yaitu sebanyak Rp 967, 5 miliar.

Dari ilustrasi tersebut didapatkan sebuah potensi strategis untuk dapat menyumbangkan peningkatan bagi perekonomian masyarakat. Muflih (2006), mengatakan sekiranya umat Islam kelas ekonomi menengah atas di setiap daerah cenderung berperilaku konsumsi yang adil dan ihsan, maka kemanunggalan sosial ekonomi di masyarakat akan berjalan dengan baik sekalipun mereka berbeda latar belakang suku bangsa dan daerah. Karena aturan dalam keberagamaan termasuk didalamnya zakat dan sedekah adalah sama.

Jika pengelolaan zakat tunjangan profesi ini mampu secara profesional dikelola oleh organisasi guru yang tersebar di seluruh nusantara, niscaya akan didapatkan berbagai keuntungan. Pertama, masyarakat penerima zakat akan ikut merasakan nikmatnya kenaikan kesejahteraan guru. Sehingga kecemburuan sosial bisa teredam.

Kedua, akan tercipta program-program swadaya yang dapat dikembangkan oleh organisasi profesi dengan sharing dana zakat yang ada, yang dapat dipergunakan untuk pelatihan-pelatihan kepada masyarakat yang berhak mendapatkannya.

Ketiga, membuka mata guru muslim bahwa kewajiban berzakat merupakan hakiki yang tersurat dalam rukun Islam. Zakat bukan sekedar zakat fitrah, namun juga zakat mal yang lebih sering diabaikan.

Keempat, gerakan guru berzakat merupakan sebuah modal sosial yang dapat dipergunakan untuk memberikan keteladanan konkrit bagi negara ini, dimana banyak sekali para pelaku koruptor yang seolah harta hanya akan diraup untuk kepentingannya sendiri. Keteladanan yang muncul dari guru akan terasa sangat menyejukkan, dimana status guru yang masih dianggap mulia oleh masyarakat.

Kelima, zakat guru bisa dibagikan untuk kegiatan pemberian beasiswa bagi siswa miskin berprestasi. Dengan program ini bukan tidak mungkin akan melahirkan cikal bakal enterpreuner dari kaum pelajar.

Selain itu, wujud penyaluran zakat sebagai dana produktif, yang sumbernya berasal dari guru bersertifikasi akan menguatkan dua ciri keprofesionalan sang guru, yaitu kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian. Sehingga peran guru bukan saja berada dalamlingkungan tempatnya mereka bekerja, namun juga dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat.

Diperlukan cara untuk mengubah sikap, memberikan motivasi yang tepat, serta menciptakan lingkungan sosial yang peka dan terbuka. Guru sebagai kaum intelek di dalam masyarakatnya akan menjadi teladan dan bersama-sama membangun semangat berzakat dan bersedekah demi mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.

Seperti yang telah dijanjikan oleh Allah SWT dalam QS Al-A'raf ayat 96, "Padahal jika sekiranya penduduknya negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami melimpahkan kepada mereka berkah-berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan, maka Kami siksa mereka disebabkann apa yang mereka lakukan."

Oleh sebab itu, seiring dengan semakin tingginya populasi masyarakat dan ekonomi yang terus berkembang, gerakan ekonomi syariah ini diharapkan bisa membawa Indonesia menuju kekuatan perekonomian yang lebih kokoh dan dapat dirasakan untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia.

Oasis di Tengah Eksploitasi

Posted by Witarsanomic
 
BILA kita memutar balik jarum jam tahun lalu, 2013 sudah ditabalkan sebagai tahun politik, tahun strategis bagi parpol, caleg, dan capres untuk ancang-ancang memenangi pemilu legislatif pada April 2014 dilanjutkan pemilihan presiden pada Juli tahun yang sama. Setelah lembar demi lembar tahun 2013 kita lewati, ramalan itu ada benarnya.

Itu semua fenomena di permukaan. Di dapur legislatif (DPR dan DPRD), keputusan yang menyangkut kepentingan publik pasti diwarnai tarik-menarik kepentingan politik di antara wakil rakyat dalam melaksanakan fungsi sebagai pengawas, penyusun perundang-undangan ataupun penganggaran.

Bagaimana di dapur eksekutif? Sebelum pemberlakuan otda awal 2000, genderang peringatan peningkatan eksploitasi lingkungan sudah ditabuh.  Hal ini didasari kekhawatiran sumber daya alam diperlakukan sebagai lumbung PAD. 

Adalah fakta pemda yang kaya sumber daya alam mudah memberikan izin penambangan demi mengejar PAD. Termasuk gampang menerbitkan izin pemanfaatan kayu.

Pada Hari Tata Ruang tanggal 8 November lalu, saya menjadi narasumber seminar tentang tata ruang kepulauan berbasis pertambangan di Bangka Belitung. Sampai saat ini draf tata ruang provinsi tersebut masih dalam pembahasan. Menurut tokoh masyarakat provinsi tersebut, yang proeksploitasi sengaja terus mengulur agar kepentingan mereka tidak terusik.

Kita tahu UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan rencana tata ruang nasional, provinsi, kabupaten/kota harus mendasarkan pada daya dukung lingkungan dan daya tampung lingkungan. Untuk kabupaten/kota yang tidak memiliki sumber daya alam memadai, instrumen izin dipgunakan sebagai wahana mengeruk PAD.

Di tengah ingar-bingar eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan, muncul sejumlah oasis seperti Kota Surabaya dan kelompok/masyarakat peduli lingkungan. Surabaya yang dulu dikenal sebagai ’’Surabahaya’’ mengingat tingkat kerusakan dan pencemaran lingkungan yang melebihi batas, di bawah Wali Kota Tri Rismaharini berubah jadi kota teduh, nyaman, asri, dan manusiawi.

Kota Pahlawan itu meraih tiga kali secara berturut-turut Adipura Kencana, mengindikasikan bukan hanya comply mengelola sampah,  menekan tingkat pencemaran udara dan air melainkan sudah beyond compliance dengan inovasi. Kita bisa melihat pengolahan sampah dari skala rumah tangga dan TPS berprinsip 3R (reduce, reuse, dan recycle), menggunakan energi terbarukan dan efisiensi energi.

Melalui Taman Bungkul, ibu kota Jatim itu menerima Asian Townscape Award dari Badan PBB untuk Habitat, dan dinyatakan sebagai taman terbaik di Asia karena memadukan aspek budaya, sosial, dan ekonomi.  Di taman tersebut ada makam cikal-bakal kota itu yang masih ramai dikunjungi masyarakat. Di tempat itu pula, warga berekreasi, melepaskan lelah, bertemu dengan rekan bisnis.

Anak-anak muda bisa sepuasnya browsing internet. Di taman itu PKL bisa berjualan dengan tenang. Taman Bungkul menjadi tumpuan warga dan menurut Wali Kota akan dibangun 15 taman serupa di seantero Surabaya.  Fungsi  sosial taman bukan hanya dirasakan oleh pengguna melainkan juga oleh warga kota pada umumnya.

Sementara, oasis lain bisa kita lihat dari kelompok pelestari lingkungan yang dalam 5 tahun terakhir tumbuh bagai cendawan pada musim hujan. Kelompok-kelompok pengolah sampah skala rumah tangga yang melakukan 3R dapat kita temui di Semarang, Jakarta, Bandung, Solo, Bantul, Yogyakarta dan sebagainya.

Prospek 2014

Sampah organik diolah menjadi pupuk dan sampah anorganik dikemas jadi berbagai produk bernilai ekonomi seperti tas, tempat tisu, vas bunga dan sebagainya. Kelompok yang didominasi ibu-Ibu ini mengembangkan sayap dengan membentuk bank sampah. Bank ini membeli sampah dari warga untuk kemudian dipilah, sebagian dijual kepada pengumpul, sebagian lagi diolah jadi berbagai produk.

Diskusi mengenai prospek Indonesia pasca-2014 berkait Munas IKA Undip di kampus Pleburan tanggal 7 Desember 2013 menyimpulkan bahwa bila kualitas Pemilu 2014 masih seperti periode sebelumnya, bisa dipastikan kondisi Tanah Air ke depan tak akan lebih baik. Pemilu-pemilu sebelumnya selalu diwarnai politik uang, dan bukan lagi rahasia adanya biaya politik tinggi untuk bisa menjadi legislator.

Tak mengherankan bila sepanjang masa baktinya anggota legislatif, dan mungkin juga kepala daerah lebih disibukkan urusan bagaimana mengembalikan dana yang pernah dikeluarkan berkait keterpilihan mereka. Nasib lingkungan tahun depan tidak bisa banyak mengandalkan pilar legislatif dan eksekutif tetapi harus banyak bertumpu pada kreativitas, inovasi perorangan dan kelompok/masyarakat yang dengan panggilan hatinya memelopori pelestarian lingkungan.

Senyatanya embrio oasis sudah terlihat di ibu kota Jateng. Kota ini, tahun 2012 dan 2013, meraih Adipura. Kelompok swadaya pengolah sampah bermunculan di banyak tempat, dari Sampangan, Jomblang, hingga Tembalang. Demikian juga kelompok swadaya pelestari lingkungan seperti Prenjak di Dukuh Tapak Kelurahan Tugu, Yayasan Biota di Mangunhardjo, Komunitas Kandang Gunung di Gunungpati, yang jadi modal berharga mewujudkan impian itu. Kesetaraan Semarang sudah selayaknya dirupakan jadi kota asri, teduh, indah, sekaligus manusiawi.


Semula saya kira isu tentang kebohongan-kebohongan pemerintahan SBY yang disampaikan para tokoh lintas agama di kantor PP Muhammadiyah Senin lalu (10-01-2011) sungguh merupakan hal yang sangat gawat. Buktinya, pada hari yang sama Menkopolhukam Djoko Suyanto merasa harus memberikan keterangan pers untuk meluruskan berita yang ditulis dalam editorial di salah satu media kita bahwa sudah terlalu banyak kebohongan yang dilakukan pemerintah kepada rakyat.  Nampaknya dalam hal ini pemerintah tidak mau gegabah dengan bereaksi secara langsung kepada para tokoh lintas agama. Presiden SBY telah memerintahkan Daniel Sparringa, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik, untuk meminta konfirmasi kepada sejumlah tokoh agama yang hadir pada pertemuan tersebut.  Hasilnya? Apa yang semula saya rasakan cukup menegangkan tersebut ternyata konon hanya merupakan masalah perbedaan bahasa komunikasi yang digunakan. Tetapi, benarkah itu semua hanya merupakan masalah bahasa?
Mengapa Pemerintah Resah?
Setelah membaca 18 butir kebohongan yang dipublikasikan di sejumlah media, nampaknya pemerintah tidak bisa menerima kalau soal janji-janji pemerintah yang tidak atau belum terpenuhi, penggunaan parameter jumlah orang miskin yang digunakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai dengan fakta di lapangan, dan kebijakan pemerintah yang dinilai tidak memihak kepada publik disebut sebagai suatu kebohongan.  Kebohongan tidaklah identik dengan kegagalan.  Kebohongan adalah ucapan yang tidak sesuai dengan keadaan/tindakan yang sebenarnya.  Keadaan/tindakan mendahului ucapan, bukan sebaliknya, kecuali kalau niat untuk melakukan suatu tindakan sengaja disembunyikan.  Kebohongan adalah kalau kegagalan, misal dalam menyelesaikan kasus Gayus atau skandal Century, diakui sebagai keberhasilan.  Bagi pemerintah, kebohongan merupakan suatu perbuatan disengaja yang sangat tercela karena menyangkut integritas, kredibilitas dan kehormatan seseorang.  Pemerintah resah karena dituduh telah melakukan banyak kebohongan kepada rakyatnya.  Bagi pemerintah, tuduhan tersebut merupakan, meminjam istilah Ketua MK Mahfud MD, proses demoralisasi.

Kedua, selain soal bahasa, hal lain yang membuat pemerintah resah adalah karena konon para tokoh lintas agama tersebut berjanji akan mengajak umat untuk melawan kebohongan yang dilakukan oleh (pemerintahan) SBY.  Artinya, paling tidak dalam benak pemerintah, akan ada mobilisasi massa yang bertujuan untuk memerangi kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai tidak memihak kepada publik.  Nampaknya pemerintah khawatir proses demoralisasi terhadap pemerintah dan ajakan kepada umat tersebut akan dimanfaatkan oleh sejumlah politisi dan jenderal purnawirawan yang sudah tidak sabar lagi untuk melihat Presiden SBY dilengserkan sebelum masa jabatannya berakhir.  Itulah sebabnya Presiden SBY segera mengirim Daniel Sparringa, staf khusus bidang komunikasi politik, untuk melakukan komunikasi politik dengan para tokoh agama tersebut.
Ketiga, kehadiran para aktivis LSM di kantor PP Muhammadiyah yang menyampaikan 18 kebohongan pemerintah (Detik.Com, 10/01/2011) tersebut nampaknya telah mengundang kecurigaan pemerintah.  Skenario macam apa di balik kerjasama antara tokoh lintas agama dan para aktivis tersebut?  Benarkah 18 kebohongan yang disampaikan oleh para aktivis tersebut merupakan pernyataan murni dan bulat dari sembilan tokoh lintas agama yang hadir dalam pertemuan tersebut?  
Keempat, barangkali yang membuat Presiden SBY merasa sangat terpukul adalah karena tuduhan  kebohongan yang ditujukan kepadanya tersebut disampaikan oleh para tokoh agama, penjaga moral yang dipercaya oleh masyarakat dan tidak mungkin bermain-main dengan ucapan mereka. Kalau seruan bohong itu disampaikan oleh para aktivis LSM yang sedang berdemo, itu sudah lumrah dan karenanya pemerintah tidak resah.  Pemerintah juga tidak resah ketika tahun lalu para aktivis Gerakan Indonesia Bersih (GIB) dan kelompok petisi 28 menuntut Presiden SBY untuk mundur.  Demikian pula pemerintah tidak merasa resah ketika 25 Agustus 2010 lalu sejumlah Jenderal purnawirawan menyampaikan keresahan serupa yang disampaikan oleh para tokoh lintas agama dan meminta Ketua MPR Taufik Kiemas untuk menggelar Sidang Istimewa MPR apabila presiden terus menerus mengingkari UUD 1945 (asli). Tetapi nampak secara jelas pemerintah tak mampu lagi menutupi kegelisahannya ketika mendengar berita tentang pernyataan sembilan tokoh lintas agama bahwa (pemerintahan) SBY telah melakukan banyak kebohongan kepada rakyatnya.  Komunikasi politik dan dialog pun lalu digelar untuk mencegah meluasnya konflik terbuka antara pemerintah dan para tokoh lintas agama.  
Pernyataan yang Belum Bulat?           
Dari hasil komunikasi politik yang dilakukan oleh Daniel Sparringa dengan sejumlah tokoh lintas agama akhirnya ditemukan sejumlah fakta, antara lain bahwa pernyataan tentang 18 kebohongan yang konon disampaikan oleh sejumlah aktivis LSM yang tergabung dalam GIB tersebut masih berbentuk draf dan belum ditandatangani oleh sembilan tokoh lintas agama. Pemerintah juga merasa lega ketika salah seorang tokoh lintas agama, Franz Magnis Suseno, menyampaikan klarifikasi bahwa para tokoh lintas agama tidak bermaksud mengatakan bahwa Presiden SBY telah berbohong.  Selain itu, ketegangan antara pemerintah dan tokoh lintas agama semakin mencair ketika para tokoh lintas agama "meralat" pernyataan tentang 18 kebohongan pemerintah tersebut menjadi tujuh pernyataan sikap para tokoh lintas agama yang dibacakan secara langsung dalam pertemuan mereka dengan pemerintah pada tanggal 17 Januari 2011 malam hari.      
Benarkah Sikap Tokoh Lintas Agama Melunak?
Adalah menarik untuk melihat tujuh butir pernyataan para tokoh lintas agama yang disampaikan kepada pemerintahan SBY-Boediono karena bagaimanapun dialog-dialog yang akan dilakukan oleh pemerintah dan tokoh lintas agama harus mengacu pada butir-butir pernyataan tersebut.  Butir pertama merupakan pernyataan syukur karena setelah 66 tahun merdeka NKRI masih bisa bertahan utuh, walaupun harus diakui bahwa belum semua warganya menikmati kemerdekaan yang utuh. 

Mengacu pada cita-cita para pendiri bangsa sebagaimana tertulis dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 45, yakni kemerdekaan sejati  yang mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi setiap anak bangsa, butir kedua menggarisbawahi masih terjadinya kekerasan atas nama agama dan kelompok terhadap terhadap umat beragama dan berkeyakinan, terhadap kebebasan berpendapat dan insan pers yang masih tampak dibiarkan oleh negara.  Dalam hal ini saya kira pemerintah harus menjelaskan mengapa kekerasan atas nama agama dan kelompok tersebut masih terus terjadi dan, ini mungkin yang terpenting, masih tampak dibiarkan terjadi.  Dalam jangka panjang pemerintah mungkin sulit untuk mencegah terjadinya kekerasan dimaksud, tetapi pemerintah harus menjamin bahwa kekerasan tersebut tidak akan dibiarkan terjadi dan frekuensi kejadiannya harus semakin menurun. Barangkali tantangan yang tidak mudah diatasi oleh pemerintah adalah terkait dengan praktik-praktik ajaran sesat yang meresahkan masyarakat di sekitarnya.  Tetapi saya percaya dengan bantuan dan dukungan penuh dari para tokoh lintas agama pemerintah pasti akan mampu mengatasinya.  Hal lain yang ingin saya tambahkan di sini adalah tentunya pemerintah juga tidak boleh membiarkan terjadinya kekerasan-kekerasan lain yang tidak disebutkan dalam pernyataan tokoh lintas agama tersebut.    
Butir ketiga pernyataan tokoh lintas agama menyampaikan, antara lain yang pokok adalah, masih banyaknya rakyat miskin yang tidak mendapatkan layanan kesehatan dan layanan pendidikan yang memadai dari pemerintah sehingga banyak yang meninggal dunia dan putus sekolah.  Di sini secara tidak langsung tokoh lintas agama bermaksud mengingatkan pemerintah agar pertambahan atau penurunan kemiskinan jangan hanya dilihat dari angka prosentase, tetapi juga dilihat dari angka absolut jumlah orang miskin.  Jangan hanya melihat orang miskin yang berada di bawah garis kemiskinan, tetapi juga orang miskin yang berada di atas garis kemiskinan yang setiap saat rentan berubah menjadi berada di bawah garis kemiskinan.  Dalam konteks inilah kita bisa memahami mengapa jumlah orang miskin yang menerima layanan bantuan beras untuk rakyat miskin (70 juta) dan jumlah orang miskin yang menerima layanan jaminan kesehatan masyarakat (76, 4 juta) lebih banyak dari jumlah orang miskin yang berada di bawah garis kemiskinan (31,02 juta). 
Mengenai masalah banyaknya orang miskin yang meninggal karena kelaparan atau karena tidak mendapatkan layanan kesehatan gawat darurat dari rumah sakit, saya kira Kementerian Kesehatan atau unit pemerintah lainnya yang menanganinya seharusnya melakukan monitoring, sosialisasi dan tindakan-tindakan preventif agar supaya jumlah kasus-kasus tersebut dapat dikurangi.  Barangkali dapat juga dipertimbangkan untuk mendirikan semacam rumah-rumah pengaduan yang selain menerima pengaduan dari masyarakat tentang kasus tersebut juga dapat memberikan jasa konsultasi tentang layanan kesehatan pemerintah untuk kelompok masyarakat miskin.  Dalam hal ini diharapkan anggota badan pekerja tokoh lintas agama dapat berpartisipasi untuk menyampaikan data dan informasi dalam rangka meningkatkan layanan kesehatan bagi kelompok masyarakat miskin. Kecuali kalau mereka mempunyai misi dan agenda kerja lain yang lebih penting dan mendesak.          
Dalam butir keempat tokoh lintas agama menggarisbawahi pendapat banyak ahli ekonomi yang menyatakan bahwa kebijakan ekonomi saat ini bertentangan dengan amanat pembukaan dan batang tubuh UUD.  Sumber daya alam belum dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan perusakan terhadap lingkungan hidup terus terjadi. 
Dari sekian banyak kebijakan ekonomi pemerintahan SBY-Boediono yang ada saat ini saya yakin yang dimaksud oleh tokoh lintas agama adalah kebijakan ekonomi neoliberal yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat jelata sesuai dengan amanat pasal 33 UUD 1945.  Saya kira merupakan hal yang masih dapat diperdebatkan tentang sejauhmana Indonesia saat ini telah menerapkan ekonomi pasar bebas.  Dalam beberapa kali kesempatan kita mendengar pernyataan dari beberapa pengamat ekonomi kita bahwa Indonesia bahkan lebih liberal dibandingkan dengan Amerika Serikat yang notabene merupakan negara yang paling vokal dalam mengkampanyekan ekonomi pasar bebas.  Namun Index of Economic Freedom 2010 yang disusun oleh lembaga think-thank Heritage Foundation dan The Wall Street Journal menempatkan Indonesia pada peringkat ke-116 dari seluruh negara di dunia, sementara Amerika Serikat berada pada peringkat ke-9.  Meskipun demikian, lagi-lagi keprihatinan yang disampaikan oleh tokoh lintas agama tentang bencana bagi rakyat yang ditimbulkan dari penerapan ekonomi pasar bebas dan keberpihakan pembangunan pada segelintir orang kaya adalah fakta yang tak terbantahkan yang menuntut penyelesaian.  Bahkan meskipun indikator statistik telah memperlihatkan kinerja yang lebih baik.
Butir kelima pernyataan tokoh lintas agama menyatakan bahwa meskipun konstitusi menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum tetapi dalam pelaksanaannya hukum ternyata masih bisa dibeli dengan uang. Perang melawan korupsi hanya akan berhasil apabila prinsip pembuktian terbalik diterapkan secara penuh. 
Saya kira dalam hal ini pemerintah harus menyampaikan penjelasan secara jujur kepada publik tentang kompleksitas permasalahan korupsi, termasuk penanganannya, dan apa strategi yang akan dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah penegakan hukum dan korupsi yang telah menggurita dan saling mengkait tersebut.  Harus diakui bahwa perang melawan korupsi memang membutuhkan waktu yang sangat lama, bahkan mungkin tidak akan pernah selesai.  Meskipun demikian pemerintah, unit-unit lembaga penegak hukum dan unit-unit pemerintah lainnya, harus menyampaikan time-frame dan indikator kinerja yang jelas dan secara berkala menyampaikan laporan akuntabilitas kinerjanya kepada publik.         
Mengenai penerapan prinsip pembuktian terbalik, meskipun masih ada pro-kontra, hal tersebut memang bisa menangkap lebih banyak koruptor secara lebih cepat.  Sayangnya hingga kini pembuktian terbalik masih dibiarkan terus-menerus hanya sebagai wacana.  Kalau kita serius dalam pemberantasan korupsi semestinya RUU Pembuktian Terbalik yang pernah diajukan pada masa pemerintahan Presiden Gus Dur harus segera kita tindaklanjuti.  Satu hal yang perlu saya ingatkan terkait dengan kalimat terakhir dalam butir 5 adalah hendaknya kita jangan berharap secara berlebihan bahwa penerapan prinsip pembuktian terbalik akan dapat menuntaskan perang melawan korupsi. Karena para koruptor akan selalu memikirkan cara-cara lain yang lebih efektif untuk menghilangkan jejak korupsinya.         
Butir keenam menyatakan bahwa pemerintah tidak memberi perhatian memadai terhadap korban pelanggaran HAM yang berat. Selain itu, pemerintah tidak mampu dan tidak menunjukkan niat untuk membela begitu banyak buruh migran yang mendapat perlakuan buruk di berbagai negara.  Padahal pembukaan UUD 45 mewajibkan pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. 
Pada umumnya kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat terjadi di masa pemerintahan Orde Baru, antara lain kasus Trisakti dan Semanggi, tragedi 27 Juli, penghilangan paksa aktivis 1997-1998, DOM Aceh, dan kasus 1965-1966. Lamanya waktu kejadian dan banyaknya para korban dan pelaku yang terlibat merupakan faktor penghambat utama mengapa kasus-kasus tersebut sulit diteruskan ke pengadilan.  Meskipun demikian, memang benar seharusnya pemerintah di era reformasi memberi perhatian yang memadai terhadap korban pelanggaran HAM tersebut.  Permasalahannya, sejauhmana dan dalam bentuk apa perhatian pemerintah tersebut harus diberikan kepada para korban?  Saya percaya para tokoh lintas agama pasti dapat memberikan masukan yang berharga kepada pemerintah.         
Perihal minimnya upaya pemerintah untuk membela para buruh migran yang mendapatkan perlakuan buruk, menurut saya, pemerintah seharusnya merespon dengan memberikan penjelasan secara transparan sejauhmana perlakuan buruk terhadap buruh migran tersebut telah dibelanya dan mengapa pemerintah tidak melakukan tindakan-tindakan pembelaan sebagaimana yang diharapkan, misalnya, oleh Migrant Care.  Sekali lagi saya ingin menambahkan bahwa pemerintah juga semestinya melindungi nasib para buruh kita di dalam negeri, antara lain melalui upaya penetapan upah minimum yang lebih baik dan upaya pembelaan terhadap para buruh yang mendapatkan perlakuan buruk dari perusahaannya.
Butir ke tujuh yang merupakan butir terakhir dari pernyataan tokoh lintas agama menegaskan bahwa kenyataan yang telah disampaikan pada butir-butir sebelumnya adalah bentuk pengingkaran terhadap UUD 45.  Oleh sebab itu kita harus mendesak pemerintah untuk menghentikan pengingkaran itu.  Apabila pemerintah menolak atau mengabaikan desakan tersebut, berarti pemerintah melakukan kebohongan publik.
Ada beberapa hal yang menarik dalam butir terakhir pernyataan tokoh lintas agama tersebut.  Pertama, apabila benar pernyataan tokoh lintas agama bahwa pemerintah telah mengingkari, melanggar atau mengkhianati amanat UUD 45, maka hal tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu masuk menuju ke arah pemakzulan. Secara terpisah Syafii Maarif pernah secara tegas mengatakan bahwa kebijakan pemerintah saat ini yang cenderung pada neoliberalisme (pasar bebas yang tidak terkendali) adalah sebuah pengkhianatan yang harus cepat dihentikan.  Walaupun salah salah satu tokoh lintas agama Franz Magnis Suseno mengingatkan para pengkritik pemerintah yang sering menggunakan wacana neoliberalisme sebagai alat pemukul agar berhati-hati memahami dan mencermati kompleksitas permasalahan yang terkait dengan kebijakan ekonomi pemerintah tersebut. Terkait dengan isu upaya pemakzulan atau kemungkinan tokoh lintas agama ditunggangi oleh kelompok tertentu secara tegas telah dibantah oleh para tokoh lintas agama.  Meskipun awal tahun 2010 lalu para aktivis GIB, organisasi yang mendukung dan bekerjasama dengan gerakan tokoh lintas agama, pernah menuntut Presiden SBY untuk mundur.  Sebagaimana kita ketahui, GIB dimotori antara lain oleh Adhie Massardi, Ray Rangkuti, Yudi Latif, dan Efendi Gazali.
Kedua, kalau kita cermati pernyataan butir 1 sampai 6 yang disampaikan oleh tokoh lintas agama nampaknya sebagian besar dari ha-hal yang disebut sebagai "pengingkaran terhadap UUD 45" tersebut sebenarnya lebih merupakan kegagalan pemerintah untuk mencapai cita-cita sebagaimana tersebut dalam UUD 45, perbedaan pandangan ideologi, atau perbedaan penafsiran terhadap amanat UUD 45 antara pemerintah dan tokoh lintas agama.  Kalau memang demikian, barangkali sejak rezim Presiden Soekarno sampai rezim Presiden Megawati belum ada satu rezim pun di Indonesia yang telah berhasil bebas dari "pengingkaran terhadap UUD 45". Lalu, mengapa tokoh lintas agama memilih kata "pengingkaran terhadap UUD 45" yang lebih bersifat provokatif yang notabene merupakan bahasa politik, dan bukan bahasa yang biasa-biasa saja yang mudah dicerna oleh publik seperti "masalah-masalah serius yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah"?.  Apakah karena pilihan kata tersebut mengandung makna persoalan yang substantif, atau sekadar untuk menarik perhatian publik?    
Ketiga, pada kalimat terakhir butir 7 disebutkan bahwa jika pemerintah menolak atau mengabaikan desakan (tokoh lintas agama) untuk segera mengakhiri 6 butir "pengingkaran terhadap UUD 45" sebagaimana tersebut di atas, berarti pemerintah melakukan kebohongan publik. Kalimat pengandaian tersebut dapat pula dimaknai bahwa kalau pemerintah bersedia menerima desakan tersebut, berarti pemerintah tidak melakukan kebohongan publik.  Terlepas apakah pada saat perumusan pernyataan tersebut para tokoh lintas agama dipengaruhi oleh suasana pro-kontra di masyarakat yang cukup menegangkan dan pertimbangan bahwa pernyataan tersebut akan dibacakan secara langsung di hadapan Presiden SBY dan para anggota kabinetnya di Istana Negara, bagi saya pernyataan tersebut merupakan sikap yang lebih melunak dari para tokoh lintas agama, terutama bila dibandingkan dengan pernyataan mereka sebelumnya tentang 18 kebohongan pemerintahan SBY
Hal lain yang menarik adalah jika pada pernyataan sebelumnya yang disampaikan di kantor PP Muhammadiyah lebih ditekankan pada butir-butir kebohongan pemerintah, dimana sebagian besar disebutkan secara eksplisit merupakan kebohongan Presiden SBY, pada pernyataan tokoh lintas agama yang dibacakan di Istana Negara lebih ditekankan pada butir-butir pengingkaran terhadap UUD 45, walaupun butir 1 dan butir 3 tidak disebutkan secara eksplisit keterkaitannya dengan UUD 45.  Selain itu, jika pernyataan 18 kebohongan pemerintahan SBY nampaknya telah berhasil "menampar" Presiden SBY, maka kalimat pengandaian tentang kebohongan pemerintah tersebut di atas dan pernyataan tokoh lintas agama bahwa mereka tidak bermaksud mengatakan Presiden SBY berbohong secara tidak sengaja telah "mempermalukan" para tokoh lintas agama itu sendiri.                    
Dapatkah Dialog Menjadi Solusi?
Setelah konflik antara pemerintahan Presiden SBY dan tokoh lintas agama telah memasuki ruang publik, lalu apa yang harus mereka lakukan?  Ketika konflik muncul biasanya komunikasi, dialog, atau diplomasi merupakan salah satu cara untuk menyelesaikannya.  Dalam dialog biasanya ada proses klarifikasi untuk meluruskan kemungkinan kesalahpahaman dan mungkin dilanjutkan dengan penandatanganan beberapa kesepakatan atau kerjasama yang harus dipatuhi atau ditindaklanjuti oleh kedua pihak.  Sejauh ini kita sama sekali belum melihat adanya kesepakatan yang telah dibuat oleh Presiden SBY dan para tokoh lintas agama.  Sementara sejumlah aksi para aktivis GIB telah dilakukan untuk mencari simpati dan menarik perhatian publik.  
      
Dialog bisa saja gagal mencapai tujuan karena kandas di tengah jalan.  Kepentingan ego, ketidakjujuran, dan perbedaan latar belakang pendidikan biasanya merupakan faktor utama yang dapat menghambat upaya untuk menemukan titik temu di antara kedua pihak.  Untuk berdiskusi tentang masalah-masalah kebijakan politik, ekonomi dan hukum pasti tidak akan efektif kalau dilakukan oleh Presiden SBY dan para tokoh lintas agama.  Dalam hal ini saya menyarankan agar kelompok badan pekerja tokoh lintas agama dapat melakukan diskusi dengan mereka yang mewakili pemerintah sesuai dengan bidang dan kompetensinya. 
Selain itu, diskusi atau dialog yang mereka lakukan tidak akan mampu meredam konflik apabila dialog tersebut tidak menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang mengikat kedua pihak, termasuk pengenaan sanksi apabila dilakukan pelanggaran.  Saya menyarankan agar semua hasil kesepakatan tersebut juga disampaikan kepada publik.  Maksud saya, agar masyarakat dapat berperan sebagai saksi dan sekaligus dapat mengawasi pelaksanaan kesepakatan yang dilakukan oleh kedua pihak.  Kita tunggu saja apakah dialog antara pemerintah dan tokoh lintas agama akan menghasilkan sejumlah kesepakatan atau berujung pada jalan buntu.  Hasil dari dialog yang mereka lakukan akan menentukan apakah konflik akan dapat dihentikan atau berlanjut dalam eskalasi yang mungkin lebih mencekam.
Akankah Konflik Berubah Menjadi Bola Salju?
Konflik yang kita saksikan antara para tokoh lintas agama dan Presiden SBY tersebut telah mendorong saya untuk memberikan beberapa catatan sebagai berikut.  Pertama, pemerintah resah karena para tokoh lintas agama resah.  Padahal apa yang mereka resahkan tersebut sesungguhnya bukanlah suatu kondisi yang sudah sangat gawat bagi kelangsungan hidup bangsa sebagaimana yang mereka bayangkan, atau bukanlah merupakan substansi permasalahan yang sebenarnya.  Kedua, konflik terbuka yang seharusnya tidak perlu terjadi tersebut patut disesalkan karena dilakukan oleh para tokoh dan pemimpin kita yang seharusnya memberikan contoh sikap dan perilaku yang baik kepada masyarakat.  Bagaimana kita bisa berharap supaya semua kelompok masyarakat kita yang berbeda suku, strata, budaya dan agama bisa hidup rukun berdampingan kalau sikap dan perilaku para tokoh dan pemimpin kita tidak layak untuk dijadikan sebagai panutan.  Ketiga, apabila tidak dapat dikendalikan secara efektif, eskalasi konflik yang melibatkan para tokoh dan pemimpin kita tersebut dapat berkembang menjadi bola salju yang dapat meruntuhkan sendi-sendi tatanan kenegaraan dan demokrasi kita yang telah dengan susah payah kita bangun dan pelihara. 

Menurut duo "Faisal dan Chatib" Basri, tahun 2011 adalah kesempatan emas bagi Indonesia.  Kita tentu tidak ingin lagi menyia-nyiakan kesempatan emas tersebut dengan membuang-buang waktu dan energi kita secara percuma untuk mengatasi kegaduhan politik yang penuh dengan intrik, sebagaimana yang terjadi pada tahun sebelumnya. Diperlukan strategi dan langkah-langkah antisipasi yang efektif untuk secara cepat menghentikan kegaduhan politik yang akan terjadi pada tahun ini yang, menurut seorang pengamat politik, mungkin akan lebih ganas dari tahun sebelumnya. Sebelum terlambat, kita harus segera menghentikan suara gaduh yang ditimbulkan oleh "nyanyian kebohongan" para tokoh dan pemimpin kita.
Diberdayakan oleh Blogger.
Welcome to My Blog

Popular Post

Wikipedia

Hasil penelusuran

Translate

Pages

- Copyright © IQTISHODIA -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -