Posted by : Witarsanomic
Minggu, 29 Desember 2013
Semula
saya kira isu tentang kebohongan-kebohongan pemerintahan SBY yang
disampaikan para tokoh lintas agama di kantor PP Muhammadiyah Senin lalu
(10-01-2011) sungguh merupakan hal yang sangat gawat. Buktinya, pada
hari yang sama Menkopolhukam Djoko Suyanto merasa harus memberikan
keterangan pers untuk meluruskan berita yang ditulis dalam editorial di
salah satu media kita bahwa sudah terlalu banyak kebohongan yang
dilakukan pemerintah kepada rakyat. Nampaknya dalam hal ini pemerintah
tidak mau gegabah dengan bereaksi secara langsung kepada para tokoh
lintas agama. Presiden SBY telah memerintahkan Daniel Sparringa, Staf
Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik, untuk meminta konfirmasi
kepada sejumlah tokoh agama yang hadir pada pertemuan tersebut.
Hasilnya? Apa yang semula saya rasakan cukup menegangkan tersebut
ternyata konon hanya merupakan masalah perbedaan bahasa komunikasi yang
digunakan. Tetapi, benarkah itu semua hanya merupakan masalah bahasa?
Mengapa Pemerintah Resah?
Setelah
membaca 18 butir kebohongan yang dipublikasikan di sejumlah media,
nampaknya pemerintah tidak bisa menerima kalau soal janji-janji
pemerintah yang tidak atau belum terpenuhi, penggunaan parameter jumlah
orang miskin yang digunakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai dengan
fakta di lapangan, dan kebijakan pemerintah yang dinilai tidak memihak
kepada publik disebut sebagai suatu kebohongan. Kebohongan tidaklah
identik dengan kegagalan. Kebohongan adalah ucapan yang tidak sesuai
dengan keadaan/tindakan yang sebenarnya. Keadaan/tindakan mendahului
ucapan, bukan sebaliknya, kecuali kalau niat untuk melakukan suatu
tindakan sengaja disembunyikan. Kebohongan adalah kalau kegagalan,
misal dalam menyelesaikan kasus Gayus atau skandal Century, diakui
sebagai keberhasilan. Bagi pemerintah, kebohongan merupakan suatu
perbuatan disengaja yang sangat tercela karena menyangkut integritas,
kredibilitas dan kehormatan seseorang. Pemerintah resah karena dituduh
telah melakukan banyak kebohongan kepada rakyatnya. Bagi pemerintah,
tuduhan tersebut merupakan, meminjam istilah Ketua MK Mahfud MD, proses
demoralisasi.
Kedua,
selain soal bahasa, hal lain yang membuat pemerintah resah adalah
karena konon para tokoh lintas agama tersebut berjanji akan mengajak
umat untuk melawan kebohongan yang dilakukan oleh (pemerintahan) SBY.
Artinya, paling tidak dalam benak pemerintah, akan ada mobilisasi massa
yang bertujuan untuk memerangi kebijakan-kebijakan pemerintah yang
dinilai tidak memihak kepada publik. Nampaknya pemerintah khawatir
proses demoralisasi terhadap pemerintah dan ajakan kepada umat tersebut
akan dimanfaatkan oleh sejumlah politisi dan jenderal purnawirawan yang
sudah tidak sabar lagi untuk melihat Presiden SBY dilengserkan sebelum
masa jabatannya berakhir. Itulah sebabnya Presiden SBY segera mengirim
Daniel Sparringa, staf khusus bidang komunikasi politik, untuk melakukan
komunikasi politik dengan para tokoh agama tersebut.
Ketiga, kehadiran para aktivis LSM di kantor PP Muhammadiyah yang menyampaikan 18 kebohongan pemerintah (Detik.Com, 10/01/2011) tersebut
nampaknya telah mengundang kecurigaan pemerintah. Skenario macam apa
di balik kerjasama antara tokoh lintas agama dan para aktivis tersebut?
Benarkah 18 kebohongan yang disampaikan oleh para aktivis tersebut
merupakan pernyataan murni dan bulat dari sembilan tokoh lintas agama
yang hadir dalam pertemuan tersebut?
Keempat,
barangkali yang membuat Presiden SBY merasa sangat terpukul adalah
karena tuduhan kebohongan yang ditujukan kepadanya tersebut disampaikan
oleh para tokoh agama, penjaga moral yang dipercaya oleh masyarakat dan
tidak mungkin bermain-main dengan ucapan mereka. Kalau seruan bohong
itu disampaikan oleh para aktivis LSM yang sedang berdemo, itu sudah
lumrah dan karenanya pemerintah tidak resah. Pemerintah juga tidak
resah ketika tahun lalu para aktivis Gerakan Indonesia Bersih (GIB) dan
kelompok petisi 28 menuntut Presiden SBY untuk mundur. Demikian pula
pemerintah tidak merasa resah ketika 25 Agustus 2010 lalu sejumlah
Jenderal purnawirawan menyampaikan keresahan serupa yang disampaikan
oleh para tokoh lintas agama dan meminta Ketua MPR Taufik Kiemas untuk
menggelar Sidang Istimewa MPR apabila presiden terus menerus mengingkari
UUD 1945 (asli). Tetapi nampak secara jelas pemerintah tak mampu lagi
menutupi kegelisahannya ketika mendengar berita tentang pernyataan
sembilan tokoh lintas agama bahwa (pemerintahan) SBY telah melakukan
banyak kebohongan kepada rakyatnya. Komunikasi politik dan dialog pun
lalu digelar untuk mencegah meluasnya konflik terbuka antara pemerintah
dan para tokoh lintas agama.
Pernyataan yang Belum Bulat?
Dari
hasil komunikasi politik yang dilakukan oleh Daniel Sparringa dengan
sejumlah tokoh lintas agama akhirnya ditemukan sejumlah fakta, antara
lain bahwa pernyataan tentang 18 kebohongan yang konon disampaikan oleh
sejumlah aktivis LSM yang tergabung dalam GIB tersebut masih berbentuk
draf dan belum ditandatangani oleh sembilan tokoh lintas agama.
Pemerintah juga merasa lega ketika salah seorang tokoh lintas agama,
Franz Magnis Suseno, menyampaikan klarifikasi bahwa para tokoh lintas
agama tidak bermaksud mengatakan bahwa Presiden SBY telah berbohong.
Selain itu, ketegangan antara pemerintah dan tokoh lintas agama semakin
mencair ketika para tokoh lintas agama "meralat" pernyataan tentang 18
kebohongan pemerintah tersebut menjadi tujuh pernyataan sikap para tokoh
lintas agama yang dibacakan secara langsung dalam pertemuan mereka
dengan pemerintah pada tanggal 17 Januari 2011 malam hari.
Benarkah Sikap Tokoh Lintas Agama Melunak?
Adalah
menarik untuk melihat tujuh butir pernyataan para tokoh lintas agama
yang disampaikan kepada pemerintahan SBY-Boediono karena bagaimanapun
dialog-dialog yang akan dilakukan oleh pemerintah dan tokoh lintas agama
harus mengacu pada butir-butir pernyataan tersebut. Butir pertama
merupakan pernyataan syukur karena setelah 66 tahun merdeka NKRI masih
bisa bertahan utuh, walaupun harus diakui bahwa belum semua warganya
menikmati kemerdekaan yang utuh.
Mengacu
pada cita-cita para pendiri bangsa sebagaimana tertulis dalam pembukaan
dan batang tubuh UUD 45, yakni kemerdekaan sejati yang mewujudkan
keadilan dan kemakmuran bagi setiap anak bangsa, butir kedua
menggarisbawahi masih terjadinya kekerasan atas nama agama dan kelompok
terhadap terhadap umat beragama dan berkeyakinan, terhadap kebebasan
berpendapat dan insan pers yang masih tampak dibiarkan oleh negara.
Dalam hal ini saya kira pemerintah harus menjelaskan mengapa kekerasan
atas nama agama dan kelompok tersebut masih terus terjadi dan, ini
mungkin yang terpenting, masih tampak dibiarkan terjadi. Dalam jangka
panjang pemerintah mungkin sulit untuk mencegah terjadinya kekerasan
dimaksud, tetapi pemerintah harus menjamin bahwa kekerasan tersebut
tidak akan dibiarkan terjadi dan frekuensi kejadiannya harus semakin
menurun. Barangkali tantangan yang tidak mudah diatasi oleh pemerintah
adalah terkait dengan praktik-praktik ajaran sesat yang meresahkan
masyarakat di sekitarnya. Tetapi saya percaya dengan bantuan dan
dukungan penuh dari para tokoh lintas agama pemerintah pasti akan mampu
mengatasinya. Hal lain yang ingin saya tambahkan di sini adalah
tentunya pemerintah juga tidak boleh membiarkan terjadinya
kekerasan-kekerasan lain yang tidak disebutkan dalam pernyataan tokoh
lintas agama tersebut.
Butir
ketiga pernyataan tokoh lintas agama menyampaikan, antara lain yang
pokok adalah, masih banyaknya rakyat miskin yang tidak mendapatkan
layanan kesehatan dan layanan pendidikan yang memadai dari pemerintah
sehingga banyak yang meninggal dunia dan putus sekolah. Di sini secara
tidak langsung tokoh lintas agama bermaksud mengingatkan pemerintah agar
pertambahan atau penurunan kemiskinan jangan hanya dilihat dari angka
prosentase, tetapi juga dilihat dari angka absolut jumlah orang miskin.
Jangan hanya melihat orang miskin yang berada di bawah garis
kemiskinan, tetapi juga orang miskin yang berada di atas garis
kemiskinan yang setiap saat rentan berubah menjadi berada di bawah garis
kemiskinan. Dalam konteks inilah kita bisa memahami mengapa jumlah
orang miskin yang menerima layanan bantuan beras untuk rakyat miskin (70
juta) dan jumlah orang miskin yang menerima layanan jaminan kesehatan
masyarakat (76, 4 juta) lebih banyak dari jumlah orang miskin yang
berada di bawah garis kemiskinan (31,02 juta).
Mengenai
masalah banyaknya orang miskin yang meninggal karena kelaparan atau
karena tidak mendapatkan layanan kesehatan gawat darurat dari rumah
sakit, saya kira Kementerian Kesehatan atau unit pemerintah lainnya yang
menanganinya seharusnya melakukan monitoring, sosialisasi dan
tindakan-tindakan preventif agar supaya jumlah kasus-kasus tersebut
dapat dikurangi. Barangkali dapat juga dipertimbangkan untuk mendirikan
semacam rumah-rumah pengaduan yang selain menerima pengaduan dari
masyarakat tentang kasus tersebut juga dapat memberikan jasa konsultasi
tentang layanan kesehatan pemerintah untuk kelompok masyarakat miskin.
Dalam hal ini diharapkan anggota badan pekerja tokoh lintas agama dapat
berpartisipasi untuk menyampaikan data dan informasi dalam rangka
meningkatkan layanan kesehatan bagi kelompok masyarakat miskin. Kecuali
kalau mereka mempunyai misi dan agenda kerja lain yang lebih penting dan
mendesak.
Dalam
butir keempat tokoh lintas agama menggarisbawahi pendapat banyak ahli
ekonomi yang menyatakan bahwa kebijakan ekonomi saat ini bertentangan
dengan amanat pembukaan dan batang tubuh UUD. Sumber daya alam belum
dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan perusakan
terhadap lingkungan hidup terus terjadi.
Dari
sekian banyak kebijakan ekonomi pemerintahan SBY-Boediono yang ada saat
ini saya yakin yang dimaksud oleh tokoh lintas agama adalah kebijakan
ekonomi neoliberal yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat jelata
sesuai dengan amanat pasal 33 UUD 1945. Saya kira merupakan hal yang
masih dapat diperdebatkan tentang sejauhmana Indonesia saat ini telah
menerapkan ekonomi pasar bebas. Dalam beberapa kali kesempatan kita
mendengar pernyataan dari beberapa pengamat ekonomi kita bahwa Indonesia
bahkan lebih liberal dibandingkan dengan Amerika Serikat yang notabene
merupakan negara yang paling vokal dalam mengkampanyekan ekonomi pasar
bebas. Namun Index of Economic Freedom 2010 yang disusun oleh lembaga think-thank Heritage Foundation dan The Wall Street Journal
menempatkan Indonesia pada peringkat ke-116 dari seluruh negara di
dunia, sementara Amerika Serikat berada pada peringkat ke-9. Meskipun
demikian, lagi-lagi keprihatinan yang disampaikan oleh tokoh lintas
agama tentang bencana bagi rakyat yang ditimbulkan dari penerapan
ekonomi pasar bebas dan keberpihakan pembangunan pada segelintir orang
kaya adalah fakta yang tak terbantahkan yang menuntut penyelesaian.
Bahkan meskipun indikator statistik telah memperlihatkan kinerja yang
lebih baik.
Butir
kelima pernyataan tokoh lintas agama menyatakan bahwa meskipun
konstitusi menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum tetapi dalam
pelaksanaannya hukum ternyata masih bisa dibeli dengan uang. Perang
melawan korupsi hanya akan berhasil apabila prinsip pembuktian terbalik
diterapkan secara penuh.
Saya
kira dalam hal ini pemerintah harus menyampaikan penjelasan secara
jujur kepada publik tentang kompleksitas permasalahan korupsi, termasuk
penanganannya, dan apa strategi yang akan dilakukan pemerintah untuk
mengatasi masalah penegakan hukum dan korupsi yang telah menggurita dan
saling mengkait tersebut. Harus diakui bahwa perang melawan korupsi
memang membutuhkan waktu yang sangat lama, bahkan mungkin tidak akan
pernah selesai. Meskipun demikian pemerintah, unit-unit lembaga penegak
hukum dan unit-unit pemerintah lainnya, harus menyampaikan time-frame dan indikator kinerja yang jelas dan secara berkala menyampaikan laporan akuntabilitas kinerjanya kepada publik.
Mengenai
penerapan prinsip pembuktian terbalik, meskipun masih ada pro-kontra,
hal tersebut memang bisa menangkap lebih banyak koruptor secara lebih
cepat. Sayangnya hingga kini pembuktian terbalik masih dibiarkan
terus-menerus hanya sebagai wacana. Kalau kita serius dalam
pemberantasan korupsi semestinya RUU Pembuktian Terbalik yang pernah
diajukan pada masa pemerintahan Presiden Gus Dur harus segera kita
tindaklanjuti. Satu hal yang perlu saya ingatkan terkait dengan kalimat
terakhir dalam butir 5 adalah hendaknya kita jangan berharap secara
berlebihan bahwa penerapan prinsip pembuktian terbalik akan dapat
menuntaskan perang melawan korupsi. Karena para koruptor akan selalu
memikirkan cara-cara lain yang lebih efektif untuk menghilangkan jejak
korupsinya.
Butir
keenam menyatakan bahwa pemerintah tidak memberi perhatian memadai
terhadap korban pelanggaran HAM yang berat. Selain itu, pemerintah tidak
mampu dan tidak menunjukkan niat untuk membela begitu banyak buruh
migran yang mendapat perlakuan buruk di berbagai negara. Padahal
pembukaan UUD 45 mewajibkan pemerintah untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia.
Pada
umumnya kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat terjadi di masa
pemerintahan Orde Baru, antara lain kasus Trisakti dan Semanggi, tragedi
27 Juli, penghilangan paksa aktivis 1997-1998, DOM Aceh, dan kasus
1965-1966. Lamanya waktu kejadian dan banyaknya para korban dan pelaku
yang terlibat merupakan faktor penghambat utama mengapa kasus-kasus
tersebut sulit diteruskan ke pengadilan. Meskipun demikian, memang
benar seharusnya pemerintah di era reformasi memberi perhatian yang
memadai terhadap korban pelanggaran HAM tersebut. Permasalahannya,
sejauhmana dan dalam bentuk apa perhatian pemerintah tersebut harus
diberikan kepada para korban? Saya percaya para tokoh lintas agama
pasti dapat memberikan masukan yang berharga kepada pemerintah.
Perihal
minimnya upaya pemerintah untuk membela para buruh migran yang
mendapatkan perlakuan buruk, menurut saya, pemerintah seharusnya
merespon dengan memberikan penjelasan secara transparan sejauhmana
perlakuan buruk terhadap buruh migran tersebut telah dibelanya dan
mengapa pemerintah tidak melakukan tindakan-tindakan pembelaan
sebagaimana yang diharapkan, misalnya, oleh Migrant Care. Sekali lagi
saya ingin menambahkan bahwa pemerintah juga semestinya melindungi nasib
para buruh kita di dalam negeri, antara lain melalui upaya penetapan
upah minimum yang lebih baik dan upaya pembelaan terhadap para buruh
yang mendapatkan perlakuan buruk dari perusahaannya.
Butir
ke tujuh yang merupakan butir terakhir dari pernyataan tokoh lintas
agama menegaskan bahwa kenyataan yang telah disampaikan pada butir-butir
sebelumnya adalah bentuk pengingkaran terhadap UUD 45. Oleh sebab itu
kita harus mendesak pemerintah untuk menghentikan pengingkaran itu.
Apabila pemerintah menolak atau mengabaikan desakan tersebut, berarti
pemerintah melakukan kebohongan publik.
Ada
beberapa hal yang menarik dalam butir terakhir pernyataan tokoh lintas
agama tersebut. Pertama, apabila benar pernyataan tokoh lintas agama
bahwa pemerintah telah mengingkari, melanggar atau mengkhianati amanat
UUD 45, maka hal tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu masuk menuju
ke arah pemakzulan. Secara terpisah Syafii Maarif pernah secara tegas
mengatakan bahwa kebijakan pemerintah saat ini yang cenderung pada
neoliberalisme (pasar bebas yang tidak terkendali) adalah sebuah
pengkhianatan yang harus cepat dihentikan. Walaupun salah salah satu
tokoh lintas agama Franz Magnis Suseno mengingatkan para pengkritik
pemerintah yang sering menggunakan wacana neoliberalisme sebagai alat
pemukul agar berhati-hati memahami dan mencermati kompleksitas
permasalahan yang terkait dengan kebijakan ekonomi pemerintah tersebut.
Terkait dengan isu upaya pemakzulan atau kemungkinan tokoh lintas agama
ditunggangi oleh kelompok tertentu secara tegas telah dibantah oleh para
tokoh lintas agama. Meskipun awal tahun 2010 lalu para aktivis GIB,
organisasi yang mendukung dan bekerjasama dengan gerakan tokoh lintas
agama, pernah menuntut Presiden SBY untuk mundur. Sebagaimana kita
ketahui, GIB dimotori antara lain oleh Adhie Massardi, Ray Rangkuti,
Yudi Latif, dan Efendi Gazali.
Kedua,
kalau kita cermati pernyataan butir 1 sampai 6 yang disampaikan oleh
tokoh lintas agama nampaknya sebagian besar dari ha-hal yang disebut
sebagai "pengingkaran terhadap UUD 45" tersebut sebenarnya lebih
merupakan kegagalan pemerintah untuk mencapai cita-cita sebagaimana
tersebut dalam UUD 45, perbedaan pandangan ideologi, atau perbedaan
penafsiran terhadap amanat UUD 45 antara pemerintah dan tokoh lintas
agama. Kalau memang demikian, barangkali sejak rezim Presiden Soekarno
sampai rezim Presiden Megawati belum ada satu rezim pun di Indonesia
yang telah berhasil bebas dari "pengingkaran terhadap UUD 45". Lalu,
mengapa tokoh lintas agama memilih kata "pengingkaran terhadap UUD 45"
yang lebih bersifat provokatif yang notabene merupakan bahasa politik,
dan bukan bahasa yang biasa-biasa saja yang mudah dicerna oleh publik
seperti "masalah-masalah serius yang harus segera diselesaikan oleh
pemerintah"?. Apakah karena pilihan kata tersebut mengandung makna
persoalan yang substantif, atau sekadar untuk menarik perhatian
publik?
Ketiga,
pada kalimat terakhir butir 7 disebutkan bahwa jika pemerintah menolak
atau mengabaikan desakan (tokoh lintas agama) untuk segera mengakhiri 6
butir "pengingkaran terhadap UUD 45" sebagaimana tersebut di atas,
berarti pemerintah melakukan kebohongan publik. Kalimat pengandaian
tersebut dapat pula dimaknai bahwa kalau pemerintah bersedia menerima
desakan tersebut, berarti pemerintah tidak melakukan kebohongan publik.
Terlepas apakah pada saat perumusan pernyataan tersebut para tokoh
lintas agama dipengaruhi oleh suasana pro-kontra di masyarakat yang
cukup menegangkan dan pertimbangan bahwa pernyataan tersebut akan
dibacakan secara langsung di hadapan Presiden SBY dan para anggota
kabinetnya di Istana Negara, bagi saya pernyataan tersebut merupakan
sikap yang lebih melunak dari para tokoh lintas agama, terutama bila
dibandingkan dengan pernyataan mereka sebelumnya tentang 18 kebohongan
pemerintahan SBY
Hal
lain yang menarik adalah jika pada pernyataan sebelumnya yang
disampaikan di kantor PP Muhammadiyah lebih ditekankan pada butir-butir
kebohongan pemerintah, dimana sebagian besar disebutkan secara eksplisit
merupakan kebohongan Presiden SBY, pada pernyataan tokoh lintas agama
yang dibacakan di Istana Negara lebih ditekankan pada butir-butir
pengingkaran terhadap UUD 45, walaupun butir 1 dan butir 3 tidak
disebutkan secara eksplisit keterkaitannya dengan UUD 45. Selain itu,
jika pernyataan 18 kebohongan pemerintahan SBY nampaknya telah berhasil
"menampar" Presiden SBY, maka kalimat pengandaian tentang kebohongan
pemerintah tersebut di atas dan pernyataan tokoh lintas agama bahwa
mereka tidak bermaksud mengatakan Presiden SBY berbohong secara tidak
sengaja telah "mempermalukan" para tokoh lintas agama itu sendiri.
Dapatkah Dialog Menjadi Solusi?
Setelah
konflik antara pemerintahan Presiden SBY dan tokoh lintas agama telah
memasuki ruang publik, lalu apa yang harus mereka lakukan? Ketika
konflik muncul biasanya komunikasi, dialog, atau diplomasi merupakan
salah satu cara untuk menyelesaikannya. Dalam dialog biasanya ada
proses klarifikasi untuk meluruskan kemungkinan kesalahpahaman dan
mungkin dilanjutkan dengan penandatanganan beberapa kesepakatan atau
kerjasama yang harus dipatuhi atau ditindaklanjuti oleh kedua pihak.
Sejauh ini kita sama sekali belum melihat adanya kesepakatan yang telah
dibuat oleh Presiden SBY dan para tokoh lintas agama. Sementara
sejumlah aksi para aktivis GIB telah dilakukan untuk mencari simpati dan
menarik perhatian publik.
Dialog
bisa saja gagal mencapai tujuan karena kandas di tengah jalan.
Kepentingan ego, ketidakjujuran, dan perbedaan latar belakang pendidikan
biasanya merupakan faktor utama yang dapat menghambat upaya untuk
menemukan titik temu di antara kedua pihak. Untuk berdiskusi tentang
masalah-masalah kebijakan politik, ekonomi dan hukum pasti tidak akan
efektif kalau dilakukan oleh Presiden SBY dan para tokoh lintas agama.
Dalam hal ini saya menyarankan agar kelompok badan pekerja tokoh lintas
agama dapat melakukan diskusi dengan mereka yang mewakili pemerintah
sesuai dengan bidang dan kompetensinya.
Selain
itu, diskusi atau dialog yang mereka lakukan tidak akan mampu meredam
konflik apabila dialog tersebut tidak menghasilkan
kesepakatan-kesepakatan yang mengikat kedua pihak, termasuk pengenaan
sanksi apabila dilakukan pelanggaran. Saya menyarankan agar semua hasil
kesepakatan tersebut juga disampaikan kepada publik. Maksud saya, agar
masyarakat dapat berperan sebagai saksi dan sekaligus dapat mengawasi
pelaksanaan kesepakatan yang dilakukan oleh kedua pihak. Kita tunggu
saja apakah dialog antara pemerintah dan tokoh lintas agama akan
menghasilkan sejumlah kesepakatan atau berujung pada jalan buntu. Hasil
dari dialog yang mereka lakukan akan menentukan apakah konflik akan
dapat dihentikan atau berlanjut dalam eskalasi yang mungkin lebih
mencekam.
Akankah Konflik Berubah Menjadi Bola Salju?
Konflik
yang kita saksikan antara para tokoh lintas agama dan Presiden SBY
tersebut telah mendorong saya untuk memberikan beberapa catatan sebagai
berikut. Pertama, pemerintah resah karena para tokoh lintas agama
resah. Padahal apa yang mereka resahkan tersebut sesungguhnya bukanlah
suatu kondisi yang sudah sangat gawat bagi kelangsungan hidup bangsa
sebagaimana yang mereka bayangkan, atau bukanlah merupakan substansi
permasalahan yang sebenarnya. Kedua, konflik terbuka yang seharusnya
tidak perlu terjadi tersebut patut disesalkan karena dilakukan oleh para
tokoh dan pemimpin kita yang seharusnya memberikan contoh sikap dan
perilaku yang baik kepada masyarakat. Bagaimana kita bisa berharap
supaya semua kelompok masyarakat kita yang berbeda suku, strata, budaya
dan agama bisa hidup rukun berdampingan kalau sikap dan perilaku para
tokoh dan pemimpin kita tidak layak untuk dijadikan sebagai panutan.
Ketiga, apabila tidak dapat dikendalikan secara efektif, eskalasi
konflik yang melibatkan para tokoh dan pemimpin kita tersebut dapat
berkembang menjadi bola salju yang dapat meruntuhkan sendi-sendi tatanan
kenegaraan dan demokrasi kita yang telah dengan susah payah kita bangun
dan pelihara.
Menurut
duo "Faisal dan Chatib" Basri, tahun 2011 adalah kesempatan emas bagi
Indonesia. Kita tentu tidak ingin lagi menyia-nyiakan kesempatan emas
tersebut dengan membuang-buang waktu dan energi kita secara percuma
untuk mengatasi kegaduhan politik yang penuh dengan intrik, sebagaimana
yang terjadi pada tahun sebelumnya. Diperlukan strategi dan
langkah-langkah antisipasi yang efektif untuk secara cepat menghentikan
kegaduhan politik yang akan terjadi pada tahun ini yang, menurut seorang
pengamat politik, mungkin akan lebih ganas dari tahun sebelumnya.
Sebelum terlambat, kita harus segera menghentikan suara gaduh yang
ditimbulkan oleh "nyanyian kebohongan" para tokoh dan pemimpin kita.
Diberdayakan oleh Blogger.