Kau terhampar di setiap bangunan mulia di berbagai peradaban.
Mengisi setiap jengkal menutupi alas ruang lantai dengan berbagai keadaan.
Engkau hanya perlu tergelar sebagai alas untuk orang ibadah maupun berkeluh kesah.
Karena mereka hanya perlu khusyuk dangan alasmu untuk menghadap Sang Kahalik pemilik waktu.
Karena memang seperti itulah kau dibuat untuk orang bertindak.
Niscaya kau kan tahu setiap keingian dan jeritan kaum terlantar maupun saudagar.
Karena kau hanyalah sebuah sajadah yang tak bisa apa-apa.
The year 2013 was not the brightest for many emerging economies, including Indonesia. While in 2012 Indonesia reached its “usual” 6 percent economic growth, thanks to its large consumer economy and growing middle class, prospects are bleak for 2014.
In the last few months of 2013, the rupiah, along with other soft currencies, suffered severe depreciation. The value of the rupiah has plunged dramatically since the beginning of the year, which has damaged market confidence.
The rising middle class helped Indonesia weather the 2008 crisis, but in 2013 it may have contributed to our blooming “crisis”.
This pattern is similar to that of the economic crisis in 1998. During the 1990s, Indonesia’s economic boom crashed as investors pulled out their dollars from the domestic market, leading to a liquidity crisis. Massive bankruptcies
occurred because the increasing burden of dollar-denominated debt.
The International Monetary Fund (IMF) stepped in and forced the central bank to increase the interest rate, resulting in another wave of pivot sector collapses. While the IMF had contributed to escalating the economic crisis, the options were limited as Indonesia had to restore faith in its currency.
The situation in 2013 resonates with the situation in 1998 where market confidence diminished due to currency depreciation. A weakening currency is ideally good for exports. In a perfect market, the market will correct itself as exports increase, a country will gain from surplus and new foreign reserves and the currency will strengthen again and find a new level of equilibrium.
But at the moment Indonesia is enjoying a double-edged economic boom. Mass consumption stimulates economic growth, but the economic fundamentals are not completely ready for a mass consumer economy. Take a look at the food sector: Indonesia has the serious problem of not being able to produce its own food sufficiently.
As the largest rice consumer in Southeast Asia, Indonesia is very vulnerable to crop failures because people are reluctant to switch to other staple foods. When local rice production cannot fulfill the domestic market demand, rice has to be imported to pick up the slack.
It is also the largest producer of instant noodles, and Indonesia is one of the biggest noodle consumers in the world; however, the industry depends entirely on imported wheat. This year, Indonesia has also suffered from rising prices of beef and onions due to protectionist sentiment.
While Indonesian decision makers have coordinated to issue appropriate policies to tackle this situation, options are limited because Indonesia has ratified various free trade pacts. Indonesia cannot unilaterally impose tariff barriers as they would violate its international treaties.
It has become prisoner of its own free-trade treaties and may end up as a loser in the free-trade game.
So far, the government has introduced various policies to offset this problem, such as increasing taxes on luxury goods, reducing oil imports and stopping the export of raw minerals starting next month. The central bank has also eased its restrictions to ensure banks and exporters can increase liquidity.
However, these short-term policies do not address the fundamental problems in the Indonesian economy. The policies could help temporarily offset the painful trade deficit and weakening currency, but they are not enough. Medium-term or long-term strategic policies have to be formulated to address the real problems instead of the symptoms.
For example, the state should give incentives (such as easy credit) to vulnerable sectors and small and medium enterprises affected by the free trade pacts.
Unfortunately, financial institutions tend to give easier access to consumer activities instead of loans for small and medium enterprises.
The major difference between 1998 and now is that the Indonesian rupiah is now managed under a floating exchange rate regime.
The central bank no longer needs to dip into its foreign reserves as aggressively as before to defend the rupiah’s rate.
In the worst case scenario, Indonesia may need to ask for another liquidity injection from other sources, though the IMF is no longer the only option. The central bank has signed bilateral swaps with other central banks.
There is also the Chiang Mai Initiative, which provides liquidity from pooled foreign reserve currencies from the ASEAN+3 members with less draconian conditionality.
While the situation is not as severe as in 1998, the current “crisis” is an opportunity to examine what is wrong with Indonesia’s economy.
Namely, a consumption-based economy is not always viable in a country with a weak currency and a high import rate. It triggers overheating in the economy that could end with a crash.
The reality of 2013 has shed light on the weak foundation of Indonesia’s consumption-based economy. It is fragile because of its over-dependence on imported goods. Indonesians consume more than they produce. Mass consumption will not be sustainable in the long run if the export sector remains sluggish.
The Indonesian middle class has helped to shelter the country from 2008 crisis, but it has also contributed to the trade deficit, because it is easier to import and consume rather than to produce and export.
Financial institutions also more aggressively disbursing loans for consumption instead of loan for small and medium enterprises.
Perhaps the 2013 “crisis” is a signal for decision makers to pay more attention to the export sector, to introduce strategic long-term policies and a wake-up call to not be disillusioned by Indonesia’s autopilot economy and rising middle class.
TAHUN 2014 telah datang. Tahun
2013 kita tinggalkan bersama kenangan dan setumpuk kekurangan.
Awal tahun kita sambut dengan
harapan bahwa tahun-tahun yang akan kita lalui adalah semburat fajar yang
akan mempercepat terwujudnya hidup menemukan adabnya. Tahun baru dengan
terhunjamkannya spirit ”kelahiran kembali”: lahir dengan kesadaran baru.
Kelahiran dan kebaruan hakikatnya
adalah khitah agama yang bukan saja diusung Al-Masih, juga digelorakan semua
nabi, termasuk Muhammad SAW. Sebuah kearifan abadi dan melintasi batas-batas
agama dan budaya (al-hikmah al-khalidah).
”Lahir” sebagai simbol terlepasnya
diri (dan bangsa) dari sekapan kegelapan, dari keyakinan menikung yang tak
membawa pencerahan dan dari gelegak nafsu yang dapat menjungkalkan marwah
kemanusiaan ke tubir kehinaan. Dan, ”baru” sebagai metafora kehidupan dengan
semangat yang berbeda dari sesuatu yang kita anggap ”lama”.
”Baru” itu interaksi simboliknya
dapat merujuk kepada situasi politik yang memuliakan akal budi, ekonomi
yang berporos pada terdistribusikannya rasa keadilan merata. Lebih luas lagi,
”baru” itu bersatu dengan kebudayaan yang berjangkar pada etos penciptaan
kebeningan batin (Cicero), keluhuran nalar (Raymond Williams), kekukuhan
menjunjung tinggi nilai universal (Kant), daya imajinasi kreatif (Schiller),
terus mengupayakan terwujudnya masyarakat sempurna (EB Taylor) melalui
gelegak daya kehidupan dengan membiarkan insting natural menemukan katupnya
yang optimal (Nietzsche).
Tahun politik
Negara orde ”baru” tempo hari
dikedepankan sebagai antitesis orde ”lama” yang dianggap serba ”mitologis”,
terlampau ”politis”, dan hanya gaduh dengan orasi yang tidak menyentuh hajat
hidup orang banyak. ”Bung Besar” harus ditumbangkan. Tragisnya, kebaruan yang
ditawarkan justru berubah jadi ”mitos baru” yang tak kalah mengerikan. Selama
32 tahun hidup dalam suasana yang seolah-olah baru, padahal sesungguhnya
dengan sempurna mewarisi mentalitas lama, mentalitas yang terpelanting jauh
pada zaman-zaman kerajaan kuno ketika ruang publik dikelola secara
turun-temurun (dinasti), antikritik, bebal, dan korup.
Tahun 2014 bukan sekadar peralihan
tahun baru, tetapi dalam konteks kebangsaan kita sedang memasuki
tahun-tahun politik. Kita akan merayakan pesta demokrasi lima tahunan
memilih secara langsung. Tahun politik bisa jadi bagi sebagian kalangan
dilihat dengan waswas ketika persoalan daftar pemilih tetap masih simpang
siur, masyarakat yang kian apatis, dan kabar tiap hari mengenai
politisi yang selalu berperilaku tak ubahnya para bandit: korup dan rakus.
Tentu semua harus tetap berjalan.
Mesin waktu tidaklah bisa dihentikan. Heraclitos menyebutnya panta rhei
kai uden menei. ”Semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang
tinggal tetap. Engkau tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama”.
Tentu saja tak ada yang sempurna.
Justru ketaksempurnaan ini yang jadi alasan utama pentingnya melakukan
introspeksi di tahun baru. Menjadi modus eksistensial untuk merayakan
pergantian tahun itu sendiri.
Hakikat tahun baru
Bukan sekadar perayaan kembang
api, kenduri material, pesta semalam suntuk atau hura-hura yang acap kali
menyisakan upacara jadi tak cukup bermakna. Namun, perayaan peralihan
tahun yang penuh kesungguhan, mengacu pada etos kebaktian sekaligus sebagai
ekspresi pemujaan pada Sang Pemilik Waktu.
Tahun baru jadi pintu masuk meraih
pembebasan sekaligus momen meneguhkan sikap keterbukaan dan penegasan.
Bagaimanapun, manusia meriwayatkan konsep dirinya sepenuhnya melalui waktu.
Salah satunya lewat fragmen peralihan tahun, melalui renungan tentang hari-
hari yang dianggap memiliki nilai tak ubahnya Natal dan lain sebagainya.
Ini juga barangkali yang jadi
alasan metafisis, dalam ajaran Islam, Tuhan banyak bersumpah menggunakan
diksi yang berdimensi waktu. Sebut saja: demi masa (wal ashri), demi malam (wal
laili), demi siang (wan nahari),
demi fajar (wal fajri), demi bulan
(wal qamari), demi matahari (wasy syamsi), demi waktu duha (wadh dhuha). Kata sang Nabi, ”Dua hal
yang acap kali terabaikan dalam kehidupan manusia: sehat dan peluang.”
Tahun baru segera tiba.
Banyak yang merasa, waktu berjalan begitu cepat, time
flies.
Ke mana saja hari? Tiba-tiba sudah akhir tahun dan di depannya tahun baru
lagi.
Ah, kita semua sebenarnya ditelan
kecepatan. Kecepatan adalah gejala paling menonjol dari kehidupan mutakhir
kita. Kita semua pemuja kecepatan. Sesuatu yang lambat, kita keluhkan:
internet lelet banget, filmnya lamban jelek, masakannya enak tapi nunggunya
lama, jawabannya tidak seketika terlalu mikir, kereta pelan tak
sampai-sampai....
Semua orang ingin lebih cepat dan lebih
cepat lagi. Kerja lebih cepat, terhubung lebih cepat, berpikir lebih cepat, ngomong lebih
cepat, bercinta lebih cepat, hamil lebih cepat—sampai tak sempat berpikir,
hamil ini karena terpaksa atau suka bin senang?
Kecepatan dan konsumerisme jalin-menjalin
menjadikan apa saja terasa kurang. Ada midnite
shopping, liburan, clubbing,
nonton bioskop, pesta, berselingkuh, ditambah entah apa lagi. Waktu tetap
saja terasa cupet. Padahal, pendidikan anak sudah diserahkan kepada babu.
Hidup manusia modern adalah perjalanan dari kekecewaan ke kekecewaan karena
apa yang ingin dijalani dan apa yang bisa dijalani makin lebar jaraknya.
Penghayatan kita terhadap waktu bukanlah
sebagai siklus. Waktu dihayati sebagai sesuatu yang linear: melesat cepat ke
depan. Bersama kecepatan pula kemudian sejumlah imperatif kehidupan hilang.
Taruhlah di antaranya proses. Proses diganti sukses, yang datangnya kalau
bisa seseketika mungkin. Pokoknya gampang. Tinggal petik.
Bagaimana caranya? Diomongkan. Mengalirlah
kutipan, uraian, fasih, diungkapkan sambil mesem-mesem, seolah hidup melulu
gejala kata-kata, bukan pelaksanaan segenap aktivitas diri yang di dalamnya
termasuk pikiran, tubuh, dan spiritualitas manusia. Bahwa sebagaimana gejala
alam, totalitas manusia tak bisa digenjot kecepatannya semudah kata-kata para
penganjur produktivitas industri kapitalis. Pret.
Ada sesuatu yang sifatnya alamiah. Tidak
ada bayi yang dengan seketika bisa disuruh tegak berdiri dan langsung
berlari. Harus terjadi pengondisian tubuh terlebih dahulu, sebelum tubuh bisa
diperintah otak untuk melakukan gerak-gerak motorik. Atau sebaliknya, pada
fase berikut, kadang dibutuhkan pengondisian otak, untuk tidak terlalu
mengintervensi tubuh. Kalau otak terlalu mengintervensi tubuh, orang jadi
sulit tidur, stres, mau bercinta loyo karena masih mikirin anjlognya harga saham.
Sejak awal, modernitas memang berkecenderungan
mereduksi gejala tubuh. Manusia gerak menjadi manusia duduk. Kota dan
metropolitan lahir.
Bersama perkembangan urbanisme, manusia terpisahkan dari alam. Manusia urban tidak mengolah alam. Mereka secara perlahan mulai lupa keterkaitannya dengan alam yang menghidupinya.
Bersama perkembangan urbanisme, manusia terpisahkan dari alam. Manusia urban tidak mengolah alam. Mereka secara perlahan mulai lupa keterkaitannya dengan alam yang menghidupinya.
Hinterland,
desa-desa di sekeliling kota sumber daya pertanian, dilupakan keberadaannya.
Dalam globalisasi, keterkaitan kota-desa kian hilang dari memori. Soalnya,
jarak antara produsen bahan makanan dengan piring orang kota kian jauh. Beras
yang dimakan orang Jakarta berasal dari Thailand. Jeruk dari China. Kopi dari
Brasil.
Kalau orang kota kembali ke desa,
keinginannya bukan untuk mengolah alam, melainkan mengonsumsi romantisme
desa. Banyak teman saya membeli tanah di desa-desa di kota lamanya, sebelum
nantinya hengkang, karena kenyataan tidaklah seperti kenangan. Tidak tahu
lagi, apa yang harus diperbuat dengan kesenyapan. Sudah terlalu terbiasa
dengan kecepatan, hiruk-pikuk, dan gebyar-gebyar palsu.
Di akhir tahun seperti sekarang, kadang
sulit saya menjawab pertanyaan orang: di mana tahun baru? Mau apa?
Sekalipun pada 2013 kita
menghadapi banyak permasalahan ekonomi, kita tetap bersyukur dapat melaluinya
dengan selamat. Tahun 2013 di- cirikan dengan inflasi yang tinggi sekitar 8,5
persen, nilai rupiah yang melemah sekitar 27 persen pada tingkatan sekitar Rp
12 ribu per dolar AS, dan pertumbuhan ekonomi yang menurun menjadi sekitar
5,8 persen.
Kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM) menyebabkan inflasi yang tinggi. Defisit transaksi berjalan di atas
tiga persen dari produk domestik bruto (PDB) menyebabkan tekanan berat pada
rupiah dan menurunnya investasi serta ekspor menyebabkan penurunan
pertumbuhan ekonomi.
Memasuki 2014 sekalipun dengan harapan ekonomi yang lebih baik, kita masih
dihadapkan dengan tantangan yang tidak ringan.
Dari luar, rencana bank sentral
Amerika Serikat (the Fed) untuk
menurunkan stimulus dengan mengurangi
pembelian obligasi yang lebih besar menyebabkan aliran modal ke luar dari
negara berkembang, termasuk Indonesia, dan modal kembali ke AS. Hal ini
menyebabkan tekanan masih akan berlangsung pada nilai rupiah. Kemungkinan the Fed akan menaikkan suku bunga pada
pengujung 2014 yang memberi kan tekanan semakin besar pada rupiah.
Bank Indonesia (BI) masih mungkin menaik kan BI Rate untuk
membuat nilai rupiah tidak terus merosot. Sementara, inflasi akan me nurun
pada kecenderungannya, yaitu sekitar lima persen. Sekalipun demikian, hal
tersebut menunjukkan prospek perbaikan ekonomi AS yang berpengaruh positif
pada ekonomi dunia. Ekonomi Cina yang menjadi rekan perdagangan utama
Indonesia kemungkinan juga akan membaik yang memberikan peluang peningkatan
ekspor Indonesia. Ekonomi Jepang kemungkinan juga membaik yang juga
menguntungkan bagi ekspor Indonesia. Ekonomi Eropa kemungkinan yang masih
lemah karena masalah struktural yang sulit untuk diatasi.
Dengan ketidakpastian di tingkat global tersebut, dengan
faktor positif dan negatifnya bagi ekonomi Indonesia, kita harus
mempersiapkan diri dengan lebih baik memasuki 2014 sebagai masa transisi. Di
dalam negeri, kekuatan pasar domestik yang didukung oleh konsumsi masyarakat
masih kuat. Sektor telekomunikasi, perdagangan, dan keuangan masih memimpin
dalam pertumbuhan sektoral. Sektor yang semestinya unggul, seperti manufaktur,
pertanian, dan pertambangan, masih membutuhkan restrukturisasi untuk dapat
kompetitif dan memperbaiki ketergantungan ekonomi yang besar pada impor serta
dapat meningkatkan ekspor.
Tahun 2014 juga merupakan tahun politik. Perhatian
pemerintah dan politikus adalah pada pemilihan legislatif (pileg) dan
pemilihan presiden (pilpres). Ditambah dengan ketatnya tindakan antikorupsi
maka inisiatif pemerintah akan semakin terbatas. Sedangkan, pemerintah baru
akan terbentuk pada Oktober 2014 dan belum akan dapat berbuat banyak bagi
perekonomian 2014. Karena itu, dapat kita katakan 2014 adalah juga sebagai masa
transisi dari pandangan ekonomi-politik. Harapan lebih besar pada
perkembangan ekonomi pada 2015.
Masa transisi 2014 semestinya juga dikaitkan dengan
restrukturisasi ekonomi dari mengandalkan sumber daya alam kepada kemampuan
dalam produksi di manufaktur dan pertanian yang terkait dengan nilai tambah
global (global value chain). Indonesia dapat mendapatkan manfaat
optimal dari perkembangan global dan dapat meminimalkan dampak negatifnya.
Bagi dunia usaha, memasuki 2014 semestinya
juga lebih fokus pada menyesuaikan diri dengan perubahan ekonomi dengan bunga
pinjaman yang lebih tinggi, nilai rupiah yang relatif lebih lemah, dan
inflasi yang menurun. Pada paruh pertama 2014, ketidakpastian masih akan
dihadapi dunia usaha. Namun, pada paruh kedua 2014, ekonomi akan membaik
seiring dengan perbaikan ekonomi AS dan Cina.
Peluang usaha akan semakin terbuka. Apalagi, jika presiden
terpilih dan pemerintahan baru sesuai dengan harapan masyarakat, prospek
perekonomian akan lebih baik lagi. Bagi dunia usaha yang dapat mempersiapkan
diri dengan baik pada masa transisi ini, akan mendapatkan manfaat besar pada
perkembangan ekonomi 2015. Tentu saja, penyesuaian tidaklah mudah.
Uji materi terhadap Undang-Undang Keuangan
Negara dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ke Mahkamah Konstitusi mendapat
tanggapan beragam. Sebagian menganggap langkah tersebut sebagai upaya membuat
lincah BUMN dalam berbisnis. Di lain pihak, ada kekhawatiran bahwa jika uji
materi itu dikabulkan, peluang korupsi akan menjadi lebih besar di lingkungan
entitas bisnis milik negara tersebut.
Koalisi untuk Akuntabilitas Keuangan (KUAK)
Negara terang-terangan menyatakan khawatir. Mereka curiga bahwa uji materi
tersebut merupakan modus elite partai dalam mencari biaya politik dari BUMN.
Mereka juga mencurigai hal itu sebagai cara BUMN menyelamatkan diri dari pemeriksaan
atau audit BPK. Bahkan, mereka mencurigai BUMN akan berbondong-bondong
melakukan IPO (penawaran perdana saham) menjelang pemilu 2014.
Semua itu merupakan kekhawatiran yang
berlebihan. Bahwa mereka khawatir akan pemisahan keuangan BUMN dengan keuangan
negara, itu jelas sesuatu yang sah. Namun mengkaitkan uji materi dengan
kebutuhan elite partai politik untuk menggali biaya pemilu bisa dianggap
sebagai paranoia politik. Apalagi, mereka mengatakan BUMN akan menjadi sasaran
perampokan karena tidak akan lagi diaudit BPK (Koran Tempo, Senin, 18 November
2013).
Uji materi sejumlah pasal dalam UU Keuangan
Negara dan UU BPK itu bermula dari keprihatinan Ketua Pusat Kajian Masalah
Strategis Universitas Indonesia (CSSUI) Prof Dr Arifin P. Soeria Atmadja, S.H.
Beliau sangat bersemangat untuk membantu BUMN/BUMD agar bisa bergerak lincah
dan bersaing seperti entitas bisnis swasta.
Dia menyatakan ada yang salah dalam pengaturan
BUMN/BUMD sebagai lembaga bisnis. Dalam setiap forum, ia selalu mengatakan BUMN
agak sulit bersaing dengan swasta. Sebab, dari sisi aturan, mereka diatur oleh
lebih dari delapan undang-undang. Sedangkan perusahaan swasta hanya diatur
maksimal tiga UU. Ini menyebabkan BUMN/BUMD tidak punya ladang bermain yang
sama.
Apa saja regulasi yang mengatur BUMN? UU PT,
UU Pasar Modal, UU Sektoral, UU BUMN, UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan
Negara, UU Tipikor, serta UU Pemeriksaan Pengeluaran dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara. Khusus BUMD, masih ditambah UU Pemerintahan Daerah. Sedangkan
perusahaan swasta hanya diatur oleh UU PT, UU Pasar Modal, dan UU Sektoral.
Prof Arifin pula yang getol menggalang
dukungan untuk mengajukan permohonan uji materi. Bahkan, kegigihannya dalam
memperjuangkan BUMN dan BUMD ini dibawa sampai beliau wafat. Dosen UI ini
meninggal karena kelelahan setelah berdiskusi membahas materi di Hotel
Borobudur, Jakarta. Ibaratnya, ia wafat di medan perjuangan saat gugatannya
sedang dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi. Semoga Allah membalas
amal baik beliau.
Di mata Prof Arifin, BUMN merupakan badan
hukum privat, bukan badan hukum publik seperti pemerintah. Kekayaan BUMN adalah
kekayaan BUMN itu sendiri, bukan kekayaan negara. Kepemilikan pemerintah bukan
pada asetnya, melainkan pada jumlah sahamnya. Karena itu, kerugian BUMN/BUMD
bukan kerugian negara, melainkan kerugian korporasi seperti perusahaan swasta.
Lantas bagaimana kalau terjadi penyimpangan?
Jika terjadi penyimpangan pengelolaan sehingga terjadi kerugian, harus
diselesaikan melalui pendekatan perdata lewat ganti rugi atau pengembalian
kerugian. Jika yang bersangkutan tidak bisa menyelesaikan melalui mekanisme
ganti rugi atau berkeberatan, baru dilakukan proses pidana.
Seringkali keberatan atas langkah Prof Arifin
ini muncul hanya karena melihat modal yang disetor ke BUMN berasal dari APBN.
Karena modalnya dari APBN, maka ia harus diperlakukan sebagai aset negara dan
harus mengikuti regulasi lembaga publik. Alasan inilah yang selalu menjadi
senjata mereka dalam mengajukan keberatan atas pemisahan kekayaan BUMN/BUMD
dari kekayaan negara.
Tapi apakah harus demikian? Sebetulnya tidak.
Gaji pegawai negeri yang diterima setiap bulan sudah tidak bisa disebut sebagai
uang negara. Karena itu, ketika gaji itu sudah di saku pegawai dan dicopet,
bukan berarti ia menghilangkan uang negara. Gaji yang telah dibayarkan telah
menjadi milik pribadi dan pertanggungjawabannya juga pribadi.
Jika dicermati, baik yang menggugat UU
Keuangan Negara dan UU BPK ke MK maupun yang menolak mempunyai semangat yang
sama. Pihak penggugat membutuhkan revisi regulasi agar mereka lebih lincah
dalam menjalankan roda bisnis BUMN dan BUMD. Dengan tidak adanya "ranjau
regulasi" yang bisa mencelakakan pengurusnya, mereka berharap bisa
bersaing dengan swasta dan bisa melipatgandakan kekayaan negara lewat bisnis
yang digelutinya.
Sementara itu, pihak yang menolak gugatan
tersebut punya semangat menjaga aset negara yang berada di BUMN/BUMD tidak
hilang dan terus bertahan. Semangat keduanya tentu harus kita dukung bersama.
Namun, dalam prakteknya, upaya mengontrol secara langsung itu menjadi kurang
produktif, bahkan malah menghambat BUMN/BUMD menjalankan perannya sebagai
pengungkit ekonomi nasional ataupun daerah.
Guru menjadi sebuah profesi yang semakin
diminati sejak pemerintah mengalokasikan anggaran yang besar untuk
peningkatan kesejahteraannya. Besarnya anggaran untuk keperluan ini pun tidak
main-main, dari total anggaran fungsi pendidikan sebesar Rp 337 triliun di
tahun 2013, pemerintah mengalokasikan Rp 43 triliun untuk tunjangan profesi
guru. Data Pokok Pendidikan tahun 2012 menyebutkan, dari 2.744.379 orang guru
yang ada, sejumlah 1.168. 405 orang telah tersertifikasi.
Apa yang telah dicapai ini, tentu saja tidak
terlepas dari perjuangan para guru sendiri melalui organisasi profesi yang
telah mulai menampakkan geliatnya pasca reformasi berlangsung. Tumbuh
suburnya berbagai macam organisasi profesi guru membuat guru tidak kehilangan
suaranya. Karena kenyataannya suara guru terlalu lama dibungkam untuk
kepentingan politik para penguasa.
Merujuk dari keberhasilan para guru
memperjuangkan hak-haknya untuk mendapatkan penghargaan yang sepadan dengan
profesi lainnya, maka organisasi ini pasti juga akan mampu jika kini saatnya
guru berbalik memberikan hak-hak orang lain melalui tunjangan profesi yang
telah didapatnya tersebut. Satu program mengenai pemungutan dan
pendistribusian zakat tunjangan profesional dapat dilahirkan melalui
organisasi profesi guru ini.
Zakat yang bersumber dari tunjangan profesi
guru-guru muslim jika dikelola secara terpusat bukan tidak mungkin akan
memberikan kontribusi bagi peningkatan perekonomian masyarakat Indonesia.
Seorang guru negeri dan impassing menerima tunjangan profesi sebesar satu
kali gaji dalam setiap bulannya. Artinya tambahan pendapatannya tersebut bisa
masuk nishab yang dipersyaratkan. Maka di dalam tunjangan profesi tersebut
terdapat hak-hak orang lain yang harus guru muslim sadari untuk diberikan
kepada yang berhak.
Seperti diketahui, satu diantara
prinsip-prinsip ekonomi Islam adalah distributive justice yang berguna untuk
membangun keadilan sosial dan ekonomi yang lebih besar melalui redistribusi
penghasilan dan kekayaan yang lebih sesuai untuk kelompok miskin dan kelompok
yang membutuhkannya.
Jika diasumsikan jumlah guru muslim di seluruh
Indonesia ada sekitar 90 persen, maka akan didapatkan jumlah sebanyak Rp 38,7
triliun. Selanjutnya dapat dihitung potensi zakat yang dapat dikumpulkan pada
tahun 2013 adalah sebesar 2,5 persen dari jumlah tersebut yaitu sebanyak Rp
967, 5 miliar.
Dari ilustrasi tersebut didapatkan sebuah
potensi strategis untuk dapat menyumbangkan peningkatan bagi perekonomian
masyarakat. Muflih (2006), mengatakan sekiranya umat Islam kelas ekonomi
menengah atas di setiap daerah cenderung berperilaku konsumsi yang adil dan
ihsan, maka kemanunggalan sosial ekonomi di masyarakat akan berjalan dengan
baik sekalipun mereka berbeda latar belakang suku bangsa dan daerah. Karena
aturan dalam keberagamaan termasuk didalamnya zakat dan sedekah adalah sama.
Jika pengelolaan zakat tunjangan profesi ini
mampu secara profesional dikelola oleh organisasi guru yang tersebar di
seluruh nusantara, niscaya akan didapatkan berbagai keuntungan. Pertama,
masyarakat penerima zakat akan ikut merasakan nikmatnya kenaikan
kesejahteraan guru. Sehingga kecemburuan sosial bisa teredam.
Kedua, akan tercipta program-program swadaya
yang dapat dikembangkan oleh organisasi profesi dengan sharing dana zakat
yang ada, yang dapat dipergunakan untuk pelatihan-pelatihan kepada masyarakat
yang berhak mendapatkannya.
Ketiga, membuka mata guru muslim bahwa
kewajiban berzakat merupakan hakiki yang tersurat dalam rukun Islam. Zakat
bukan sekedar zakat fitrah, namun juga zakat mal yang lebih sering diabaikan.
Keempat, gerakan guru berzakat merupakan
sebuah modal sosial yang dapat dipergunakan untuk memberikan keteladanan
konkrit bagi negara ini, dimana banyak sekali para pelaku koruptor yang
seolah harta hanya akan diraup untuk kepentingannya sendiri. Keteladanan yang
muncul dari guru akan terasa sangat menyejukkan, dimana status guru yang
masih dianggap mulia oleh masyarakat.
Kelima, zakat guru bisa dibagikan untuk
kegiatan pemberian beasiswa bagi siswa miskin berprestasi. Dengan program ini
bukan tidak mungkin akan melahirkan cikal bakal enterpreuner dari kaum
pelajar.
Selain itu, wujud penyaluran zakat sebagai
dana produktif, yang sumbernya berasal dari guru bersertifikasi akan
menguatkan dua ciri keprofesionalan sang guru, yaitu kompetensi sosial dan
kompetensi kepribadian. Sehingga peran guru bukan saja berada dalamlingkungan
tempatnya mereka bekerja, namun juga dapat dirasakan manfaatnya bagi
masyarakat.
Diperlukan cara untuk mengubah sikap,
memberikan motivasi yang tepat, serta menciptakan lingkungan sosial yang peka
dan terbuka. Guru sebagai kaum intelek di dalam masyarakatnya akan menjadi
teladan dan bersama-sama membangun semangat berzakat dan bersedekah demi
mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Seperti yang telah dijanjikan oleh Allah SWT dalam QS
Al-A'raf ayat 96, "Padahal jika
sekiranya penduduknya negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami
melimpahkan kepada mereka berkah-berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan, maka Kami siksa mereka disebabkann apa yang mereka
lakukan."
Diberdayakan oleh Blogger.