Sajadah

Minggu, 26 Maret 2017
Posted by Witarsanomic



Kau terhampar di setiap bangunan mulia di berbagai peradaban.
Mengisi setiap jengkal menutupi alas ruang lantai dengan berbagai keadaan.

Entah itu tanah, pelepah, bata merah, ataupun marmer yg terpasang begitu indah.
Engkau hanya perlu tergelar sebagai alas untuk orang ibadah maupun berkeluh kesah.

Terkadang orang tak pernah ingin tau rupa dan asalmu.
Karena mereka hanya perlu khusyuk dangan alasmu untuk menghadap Sang Kahalik pemilik waktu.

Engkau dipijak, diinjak bahkan ditiduripun tak perlu engkau menolak.
Karena memang seperti itulah kau dibuat untuk orang bertindak.

Jika saja dalam bentukmu terdapat ruang untukmu mendengar.
Niscaya kau kan tahu setiap keingian dan jeritan kaum terlantar maupun saudagar.

Namun apa hendak dikata kau tak bisa berbuat apa-apa.
Karena kau hanyalah sebuah sajadah yang tak bisa apa-apa.

Sambil mikir, 14-03-2016

Why Indonesia may (or not) revisit the Asian crisis

Sabtu, 04 Januari 2014
Posted by Witarsanomic


The year 2013 was not the brightest for many emerging economies, including Indonesia. While in 2012 Indonesia reached its “usual” 6 percent economic growth, thanks to its large consumer economy and growing middle class, prospects are bleak for 2014. 

In the last few months of 2013, the rupiah, along with other soft currencies, suffered severe depreciation. The value of the rupiah has plunged dramatically since the beginning of the year, which has damaged market confidence. 

The rising middle class helped Indonesia weather the 2008 crisis, but in 2013 it may have contributed to our blooming “crisis”.

This pattern is similar to that of the economic crisis in 1998. During the 1990s, Indonesia’s economic boom crashed as investors pulled out their dollars from the domestic market, leading to a liquidity crisis. Massive bankruptcies 
occurred because the increasing burden of dollar-denominated debt. 

The International Monetary Fund (IMF) stepped in and forced the central bank to increase the interest rate, resulting in another wave of pivot sector collapses. While the IMF had contributed to escalating the economic crisis, the options were limited as Indonesia had to restore faith in its currency.

The situation in 2013 resonates with the situation in 1998 where market confidence diminished due to currency depreciation. A weakening currency is ideally good for exports. In a perfect market, the market will correct itself as exports increase, a country will gain from surplus and new foreign reserves and the currency will strengthen again and find a new level of equilibrium.

But at the moment Indonesia is enjoying a double-edged economic boom. Mass consumption stimulates economic growth, but the economic fundamentals are not completely ready for a mass consumer economy. Take a look at the food sector: Indonesia has the serious problem of not being able to produce its own food sufficiently. 

As the largest rice consumer in Southeast Asia, Indonesia is very vulnerable to crop failures because people are reluctant to switch to other staple foods. When local rice production cannot fulfill the domestic market demand, rice has to be imported to pick up the slack. 

It is also the largest producer of instant noodles, and Indonesia is one of the biggest noodle consumers in the world; however, the industry depends entirely on imported wheat. This year, Indonesia has also suffered from rising prices of beef and onions due to protectionist sentiment.

While Indonesian decision makers have coordinated to issue appropriate policies to tackle this situation, options are limited because Indonesia has ratified various free trade pacts. Indonesia cannot unilaterally impose tariff barriers as they would violate its international treaties. 

It has become prisoner of its own free-trade treaties and may end up as a loser in the free-trade game.

So far, the government has introduced various policies to offset this problem, such as increasing taxes on luxury goods, reducing oil imports and stopping the export of raw minerals starting next month. The central bank has also eased its restrictions to ensure banks and exporters can increase liquidity. 

However, these short-term policies do not address the fundamental problems in the Indonesian economy. The policies could help temporarily offset the painful trade deficit and weakening currency, but they are not enough. Medium-term or long-term strategic policies have to be formulated to address the real problems instead of the symptoms. 

For example, the state should give incentives (such as easy credit) to vulnerable sectors and small and medium enterprises affected by the free trade pacts. 

Unfortunately, financial institutions tend to give easier access to consumer activities instead of loans for small and medium enterprises.

The major difference between 1998 and now is that the Indonesian rupiah is now managed under a floating exchange rate regime. 

The central bank no longer needs to dip into its foreign reserves as aggressively as before to defend the rupiah’s rate. 

In the worst case scenario, Indonesia may need to ask for another liquidity injection from other sources, though the IMF is no longer the only option. The central bank has signed bilateral swaps with other central banks. 

There is also the Chiang Mai Initiative, which provides liquidity from pooled foreign reserve currencies from the ASEAN+3 members with less draconian conditionality.

While the situation is not as severe as in 1998, the current “crisis” is an opportunity to examine what is wrong with Indonesia’s economy. 

Namely, a consumption-based economy is not always viable in a country with a weak currency and a high import rate. It triggers overheating in the economy that could end with a crash. 

The reality of 2013 has shed light on the weak foundation of Indonesia’s consumption-based economy. It is fragile because of its over-dependence on imported goods. Indonesians consume more than they produce. Mass consumption will not be sustainable in the long run if the export sector remains sluggish.

The Indonesian middle class has helped to shelter the country from 2008 crisis, but it has also contributed to the trade deficit, because it is easier to import and consume rather than to produce and export.

Financial institutions also more aggressively disbursing loans for consumption instead of loan for small and medium enterprises. 

Perhaps the 2013 “crisis” is a signal for decision makers to pay more attention to the export sector, to introduce strategic long-term policies and a wake-up call to not be disillusioned by Indonesia’s autopilot economy and rising middle class.

Mistisisme Waktu

Posted by Witarsanomic
 
TAHUN 2014 telah datang. Tahun 2013 kita tinggalkan bersama kenangan dan setumpuk kekurangan.

Awal tahun kita sambut dengan harapan bahwa tahun-tahun yang akan kita lalui adalah semburat fajar yang akan mempercepat terwujudnya hidup menemukan adabnya. Tahun baru dengan terhunjamkannya spirit ”kelahiran kembali”: lahir dengan kesadaran baru.

Kelahiran dan kebaruan hakikatnya adalah khitah agama yang bukan saja diusung Al-Masih, juga digelorakan semua nabi, termasuk Muhammad SAW. Sebuah kearifan abadi dan melintasi batas-batas agama dan budaya (al-hikmah al-khalidah).

”Lahir” sebagai simbol terlepasnya diri (dan bangsa) dari sekapan kegelapan, dari keyakinan menikung yang tak membawa pencerahan dan dari gelegak nafsu yang dapat menjungkalkan marwah kemanusiaan ke tubir kehinaan. Dan, ”baru” sebagai metafora kehidupan dengan semangat yang berbeda dari sesuatu yang kita anggap ”lama”.

”Baru” itu interaksi simboliknya dapat merujuk kepada situasi politik yang memuliakan  akal budi, ekonomi yang berporos pada terdistribusikannya rasa keadilan merata. Lebih luas lagi, ”baru” itu bersatu dengan kebudayaan yang berjangkar pada etos penciptaan kebeningan batin (Cicero), keluhuran nalar (Raymond Williams), kekukuhan menjunjung tinggi nilai universal (Kant), daya imajinasi kreatif (Schiller), terus mengupayakan  terwujudnya masyarakat sempurna (EB Taylor) melalui gelegak daya kehidupan dengan membiarkan insting natural menemukan katupnya yang optimal (Nietzsche).

Tahun politik

Negara orde ”baru” tempo hari dikedepankan sebagai antitesis orde ”lama” yang dianggap serba ”mitologis”, terlampau ”politis”, dan hanya gaduh dengan orasi yang tidak menyentuh hajat hidup orang banyak. ”Bung Besar” harus ditumbangkan. Tragisnya, kebaruan yang ditawarkan justru berubah jadi ”mitos baru” yang tak kalah mengerikan. Selama 32 tahun hidup dalam suasana yang seolah-olah baru, padahal sesungguhnya dengan sempurna mewarisi mentalitas lama, mentalitas yang terpelanting jauh pada zaman-zaman kerajaan kuno ketika ruang publik dikelola secara turun-temurun (dinasti), antikritik, bebal,  dan korup.

Tahun 2014 bukan sekadar peralihan tahun baru, tetapi dalam konteks kebangsaan  kita sedang memasuki  tahun-tahun politik. Kita akan merayakan pesta demokrasi lima tahunan memilih secara langsung. Tahun politik bisa jadi bagi sebagian kalangan dilihat dengan waswas ketika persoalan daftar pemilih tetap masih simpang siur,  masyarakat yang kian apatis, dan kabar tiap hari mengenai politisi yang selalu berperilaku tak ubahnya para bandit: korup dan rakus.

Tentu semua harus tetap berjalan. Mesin waktu tidaklah bisa dihentikan. Heraclitos menyebutnya  panta rhei kai uden menei. ”Semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap. Engkau tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama”.
Tentu saja tak ada yang sempurna. Justru ketaksempurnaan ini yang jadi alasan utama pentingnya melakukan introspeksi di tahun baru. Menjadi modus eksistensial untuk merayakan pergantian tahun itu sendiri.

Hakikat tahun baru

Bukan sekadar perayaan kembang api, kenduri material, pesta semalam suntuk atau hura-hura yang acap kali menyisakan  upacara jadi tak cukup bermakna. Namun, perayaan peralihan tahun yang penuh kesungguhan, mengacu pada etos kebaktian sekaligus sebagai ekspresi pemujaan pada Sang Pemilik Waktu.

Tahun baru jadi pintu masuk meraih pembebasan sekaligus momen meneguhkan sikap keterbukaan dan penegasan. Bagaimanapun, manusia meriwayatkan konsep dirinya sepenuhnya melalui waktu. Salah satunya lewat fragmen peralihan tahun, melalui renungan tentang hari- hari yang dianggap memiliki nilai tak ubahnya Natal dan lain sebagainya.

Ini juga barangkali yang jadi alasan metafisis, dalam ajaran Islam, Tuhan banyak bersumpah menggunakan diksi yang berdimensi waktu. Sebut saja: demi masa (wal ashri), demi malam (wal laili), demi siang (wan nahari), demi fajar (wal fajri), demi bulan (wal qamari), demi matahari (wasy syamsi), demi waktu duha (wadh dhuha). Kata sang Nabi, ”Dua hal yang acap kali terabaikan dalam kehidupan manusia: sehat dan peluang.”

Tidak mungkin Tuhan sampai bersumpah segala, kecuali di seberangnya terhamparkan realitas yang dianggap penting dan harus jadi perhatian seluruh ciptaannya. Hanya manusia (pejabat) yang menganggap sumpah tidak penting sehingga sumpah pun berubah jadi sampah.  Kesadaran waktu mistis sekaligus fana inilah yang bikin Chairil Anwar ingin hidup seribu tahun lagi, sekaligus menggerakkan seorang Amir Hamzah di pengujung usianya menulis penuh kesunyian: ”Lalu waktu-bukan giliranku… menapaki waktu, mencipta jejak sambil menunggu giliran yang barangkali masih jauh”.

Tahun Baru

Selasa, 31 Desember 2013
Posted by Witarsanomic
 
Tahun baru segera tiba. Banyak yang merasa, waktu berjalan begitu cepat, time flies. Ke mana saja hari? Tiba-tiba sudah akhir tahun dan di depannya tahun baru lagi.

Ah, kita semua sebenarnya ditelan kecepatan. Kecepatan adalah gejala paling menonjol dari kehidupan mutakhir kita. Kita semua pemuja kecepatan. Sesuatu yang lambat, kita keluhkan: internet lelet banget, filmnya lamban jelek, masakannya enak tapi nunggunya lama, jawabannya tidak seketika terlalu mikir, kereta pelan tak sampai-sampai....

Semua orang ingin lebih cepat dan lebih cepat lagi. Kerja lebih cepat, terhubung lebih cepat, berpikir lebih cepat, ngomong lebih cepat, bercinta lebih cepat, hamil lebih cepat—sampai tak sempat berpikir, hamil ini karena terpaksa atau suka bin senang?

Kecepatan dan konsumerisme jalin-menjalin menjadikan apa saja terasa kurang. Ada midnite shopping, liburan, clubbing, nonton bioskop, pesta, berselingkuh, ditambah entah apa lagi. Waktu tetap saja terasa cupet. Padahal, pendidikan anak sudah diserahkan kepada babu. Hidup manusia modern adalah perjalanan dari kekecewaan ke kekecewaan karena apa yang ingin dijalani dan apa yang bisa dijalani makin lebar jaraknya.

Penghayatan kita terhadap waktu bukanlah sebagai siklus. Waktu dihayati sebagai sesuatu yang linear: melesat cepat ke depan. Bersama kecepatan pula kemudian sejumlah imperatif kehidupan hilang. Taruhlah di antaranya proses. Proses diganti sukses, yang datangnya kalau bisa seseketika mungkin. Pokoknya gampang. Tinggal petik.

Bagaimana caranya? Diomongkan. Mengalirlah kutipan, uraian, fasih, diungkapkan sambil mesem-mesem, seolah hidup melulu gejala kata-kata, bukan pelaksanaan segenap aktivitas diri yang di dalamnya termasuk pikiran, tubuh, dan spiritualitas manusia. Bahwa sebagaimana gejala alam, totalitas manusia tak bisa digenjot kecepatannya semudah kata-kata para penganjur produktivitas industri kapitalis. Pret.

Ada sesuatu yang sifatnya alamiah. Tidak ada bayi yang dengan seketika bisa disuruh tegak berdiri dan langsung berlari. Harus terjadi pengondisian tubuh terlebih dahulu, sebelum tubuh bisa diperintah otak untuk melakukan gerak-gerak motorik. Atau sebaliknya, pada fase berikut, kadang dibutuhkan pengondisian otak, untuk tidak terlalu mengintervensi tubuh. Kalau otak terlalu mengintervensi tubuh, orang jadi sulit tidur, stres, mau bercinta loyo karena masih mikirin anjlognya harga saham.

Sejak awal, modernitas memang berkecenderungan mereduksi gejala tubuh. Manusia gerak menjadi manusia duduk. Kota dan metropolitan lahir.
Bersama perkembangan urbanisme, manusia terpisahkan dari alam. Manusia urban tidak mengolah alam. Mereka secara perlahan mulai lupa keterkaitannya dengan alam yang menghidupinya.

Hinterland, desa-desa di sekeliling kota sumber daya pertanian, dilupakan keberadaannya. Dalam globalisasi, keterkaitan kota-desa kian hilang dari memori. Soalnya, jarak antara produsen bahan makanan dengan piring orang kota kian jauh. Beras yang dimakan orang Jakarta berasal dari Thailand. Jeruk dari China. Kopi dari Brasil.

Kalau orang kota kembali ke desa, keinginannya bukan untuk mengolah alam, melainkan mengonsumsi romantisme desa. Banyak teman saya membeli tanah di desa-desa di kota lamanya, sebelum nantinya hengkang, karena kenyataan tidaklah seperti kenangan. Tidak tahu lagi, apa yang harus diperbuat dengan kesenyapan. Sudah terlalu terbiasa dengan kecepatan, hiruk-pikuk, dan gebyar-gebyar palsu.

Di akhir tahun seperti sekarang, kadang sulit saya menjawab pertanyaan orang: di mana tahun baru? Mau apa?

Pasti akan dianggap main-main kalau saya jawab seperti jawaban Guru: saya di sini saja. Karena saya di sini maka saya tidak di sini. Saya tidak melakukan apa-apa. Karena saya tidak melakukan apa-apa, maka saya melakukan apa-apa....
 
Sekalipun pada 2013 kita menghadapi banyak permasalahan ekonomi, kita tetap bersyukur dapat melaluinya dengan selamat. Tahun 2013 di- cirikan dengan inflasi yang tinggi sekitar 8,5 persen, nilai rupiah yang melemah sekitar 27 persen pada tingkatan sekitar Rp 12 ribu per dolar AS, dan pertumbuhan ekonomi yang menurun menjadi sekitar 5,8 persen.

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menyebabkan inflasi yang tinggi. Defisit transaksi berjalan di atas tiga persen dari produk domestik bruto (PDB) menyebabkan tekanan berat pada rupiah dan menurunnya investasi serta ekspor menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi.

Memasuki 2014 sekalipun dengan harapan ekonomi yang lebih baik, kita masih dihadapkan dengan tantangan yang tidak ringan.

Dari luar, rencana bank sentral Amerika Serikat (the Fed) untuk menurunkan stimulus dengan mengurangi pembelian obligasi yang lebih besar menyebabkan aliran modal ke luar dari negara berkembang, termasuk Indonesia, dan modal kembali ke AS. Hal ini menyebabkan tekanan masih akan berlangsung pada nilai rupiah. Kemungkinan the Fed akan menaikkan suku bunga pada pengujung 2014 yang memberi kan tekanan semakin besar pada rupiah.

Bank Indonesia (BI) masih mungkin menaik kan BI Rate untuk membuat nilai rupiah tidak terus merosot. Sementara, inflasi akan me nurun pada kecenderungannya, yaitu sekitar lima persen. Sekalipun demikian, hal tersebut menunjukkan prospek perbaikan ekonomi AS yang berpengaruh positif pada ekonomi dunia. Ekonomi Cina yang menjadi rekan perdagangan utama Indonesia kemungkinan juga akan membaik yang memberikan peluang peningkatan ekspor Indonesia. Ekonomi Jepang kemungkinan juga membaik yang juga menguntungkan bagi ekspor Indonesia. Ekonomi Eropa kemungkinan yang masih lemah karena masalah struktural yang sulit untuk diatasi.

Dengan ketidakpastian di tingkat global tersebut, dengan faktor positif dan negatifnya bagi ekonomi Indonesia, kita harus mempersiapkan diri dengan lebih baik memasuki 2014 sebagai masa transisi. Di dalam negeri, kekuatan pasar domestik yang didukung oleh konsumsi masyarakat masih kuat. Sektor telekomunikasi, perdagangan, dan keuangan masih memimpin dalam pertumbuhan sektoral. Sektor yang semestinya unggul, seperti manufaktur, pertanian, dan pertambangan, masih membutuhkan restrukturisasi untuk dapat kompetitif dan memperbaiki ketergantungan ekonomi yang besar pada impor serta dapat meningkatkan ekspor.

Tahun 2014 juga merupakan tahun politik. Perhatian pemerintah dan politikus adalah pada pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres). Ditambah dengan ketatnya tindakan antikorupsi maka inisiatif pemerintah akan semakin terbatas. Sedangkan, pemerintah baru akan terbentuk pada Oktober 2014 dan belum akan dapat berbuat banyak bagi perekonomian 2014. Karena itu, dapat kita katakan 2014 adalah juga sebagai masa transisi dari pandangan ekonomi-politik. Harapan lebih besar pada perkembangan ekonomi pada 2015.

Masa transisi 2014 semestinya juga dikaitkan dengan restrukturisasi ekonomi dari mengandalkan sumber daya alam kepada kemampuan dalam produksi di manufaktur dan pertanian yang terkait dengan nilai tambah global (global value chain). Indonesia dapat mendapatkan manfaat optimal dari perkembangan global dan dapat meminimalkan dampak negatifnya.

Bagi dunia usaha, memasuki 2014 semestinya juga lebih fokus pada menyesuaikan diri dengan perubahan ekonomi dengan bunga pinjaman yang lebih tinggi, nilai rupiah yang relatif lebih lemah, dan inflasi yang menurun. Pada paruh pertama 2014, ketidakpastian masih akan dihadapi dunia usaha. Namun, pada paruh kedua 2014, ekonomi akan membaik seiring dengan perbaikan ekonomi AS dan Cina.

Peluang usaha akan semakin terbuka. Apalagi, jika presiden terpilih dan pemerintahan baru sesuai dengan harapan masyarakat, prospek perekonomian akan lebih baik lagi. Bagi dunia usaha yang dapat mempersiapkan diri dengan baik pada masa transisi ini, akan mendapatkan manfaat besar pada perkembangan ekonomi 2015. Tentu saja, penyesuaian tidaklah mudah.

Bagi masyarakat pada paruh pertama 2014, masih meng hadapi inflasi yang tinggi, tapi pada paruh kedua, inflasi akan turun dan mendorong peningkatan konsumsi masyarakat. Terpilihnya presiden dan terbentuknya pemerintahan yang sesuai dengan kehendak masyarakat akan meningkatkan ekspektasi terhadap perbaikan ekonomi pada tahun transisi ini dan terbukanya kesempatan kerja dengan perkembangan investasi.

BUMN Untung, Negara Buntung?

Minggu, 29 Desember 2013
Posted by Witarsanomic


 
Uji materi terhadap Undang-Undang Keuangan Negara dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ke Mahkamah Konstitusi mendapat tanggapan beragam. Sebagian menganggap langkah tersebut sebagai upaya membuat lincah BUMN dalam berbisnis. Di lain pihak, ada kekhawatiran bahwa jika uji materi itu dikabulkan, peluang korupsi akan menjadi lebih besar di lingkungan entitas bisnis milik negara tersebut.

Koalisi untuk Akuntabilitas Keuangan (KUAK) Negara terang-terangan menyatakan khawatir. Mereka curiga bahwa uji materi tersebut merupakan modus elite partai dalam mencari biaya politik dari BUMN. Mereka juga mencurigai hal itu sebagai cara BUMN menyelamatkan diri dari pemeriksaan atau audit BPK. Bahkan, mereka mencurigai BUMN akan berbondong-bondong melakukan IPO (penawaran perdana saham) menjelang pemilu 2014.

Semua itu merupakan kekhawatiran yang berlebihan. Bahwa mereka khawatir akan pemisahan keuangan BUMN dengan keuangan negara, itu jelas sesuatu yang sah. Namun mengkaitkan uji materi dengan kebutuhan elite partai politik untuk menggali biaya pemilu bisa dianggap sebagai paranoia politik. Apalagi, mereka mengatakan BUMN akan menjadi sasaran perampokan karena tidak akan lagi diaudit BPK (Koran Tempo, Senin, 18 November 2013).

Uji materi sejumlah pasal dalam UU Keuangan Negara dan UU BPK itu bermula dari keprihatinan Ketua Pusat Kajian Masalah Strategis Universitas Indonesia (CSSUI) Prof Dr Arifin P. Soeria Atmadja, S.H. Beliau sangat bersemangat untuk membantu BUMN/BUMD agar bisa bergerak lincah dan bersaing seperti entitas bisnis swasta.

Dia menyatakan ada yang salah dalam pengaturan BUMN/BUMD sebagai lembaga bisnis. Dalam setiap forum, ia selalu mengatakan BUMN agak sulit bersaing dengan swasta. Sebab, dari sisi aturan, mereka diatur oleh lebih dari delapan undang-undang. Sedangkan perusahaan swasta hanya diatur maksimal tiga UU. Ini menyebabkan BUMN/BUMD tidak punya ladang bermain yang sama.

Apa saja regulasi yang mengatur BUMN? UU PT, UU Pasar Modal, UU Sektoral, UU BUMN, UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU Tipikor, serta UU Pemeriksaan Pengeluaran dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Khusus BUMD, masih ditambah UU Pemerintahan Daerah. Sedangkan perusahaan swasta hanya diatur oleh UU PT, UU Pasar Modal, dan UU Sektoral.

Prof Arifin pula yang getol menggalang dukungan untuk mengajukan permohonan uji materi. Bahkan, kegigihannya dalam memperjuangkan BUMN dan BUMD ini dibawa sampai beliau wafat. Dosen UI ini meninggal karena kelelahan setelah berdiskusi membahas materi di Hotel Borobudur, Jakarta. Ibaratnya, ia wafat di medan perjuangan saat gugatannya sedang dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi. Semoga Allah membalas amal baik beliau.

Di mata Prof Arifin, BUMN merupakan badan hukum privat, bukan badan hukum publik seperti pemerintah. Kekayaan BUMN adalah kekayaan BUMN itu sendiri, bukan kekayaan negara. Kepemilikan pemerintah bukan pada asetnya, melainkan pada jumlah sahamnya. Karena itu, kerugian BUMN/BUMD bukan kerugian negara, melainkan kerugian korporasi seperti perusahaan swasta.

Lantas bagaimana kalau terjadi penyimpangan? Jika terjadi penyimpangan pengelolaan sehingga terjadi kerugian, harus diselesaikan melalui pendekatan perdata lewat ganti rugi atau pengembalian kerugian. Jika yang bersangkutan tidak bisa menyelesaikan melalui mekanisme ganti rugi atau berkeberatan, baru dilakukan proses pidana.

Seringkali keberatan atas langkah Prof Arifin ini muncul hanya karena melihat modal yang disetor ke BUMN berasal dari APBN. Karena modalnya dari APBN, maka ia harus diperlakukan sebagai aset negara dan harus mengikuti regulasi lembaga publik. Alasan inilah yang selalu menjadi senjata mereka dalam mengajukan keberatan atas pemisahan kekayaan BUMN/BUMD dari kekayaan negara.

Tapi apakah harus demikian? Sebetulnya tidak. Gaji pegawai negeri yang diterima setiap bulan sudah tidak bisa disebut sebagai uang negara. Karena itu, ketika gaji itu sudah di saku pegawai dan dicopet, bukan berarti ia menghilangkan uang negara. Gaji yang telah dibayarkan telah menjadi milik pribadi dan pertanggungjawabannya juga pribadi.

Jika dicermati, baik yang menggugat UU Keuangan Negara dan UU BPK ke MK maupun yang menolak mempunyai semangat yang sama. Pihak penggugat membutuhkan revisi regulasi agar mereka lebih lincah dalam menjalankan roda bisnis BUMN dan BUMD. Dengan tidak adanya "ranjau regulasi" yang bisa mencelakakan pengurusnya, mereka berharap bisa bersaing dengan swasta dan bisa melipatgandakan kekayaan negara lewat bisnis yang digelutinya.

Sementara itu, pihak yang menolak gugatan tersebut punya semangat menjaga aset negara yang berada di BUMN/BUMD tidak hilang dan terus bertahan. Semangat keduanya tentu harus kita dukung bersama. Namun, dalam prakteknya, upaya mengontrol secara langsung itu menjadi kurang produktif, bahkan malah menghambat BUMN/BUMD menjalankan perannya sebagai pengungkit ekonomi nasional ataupun daerah.

Zakat Profesi Guru

Posted by Witarsanomic
 
Guru menjadi sebuah profesi yang semakin diminati sejak pemerintah mengalokasikan anggaran yang besar untuk peningkatan kesejahteraannya. Besarnya anggaran untuk keperluan ini pun tidak main-main, dari total anggaran fungsi pendidikan sebesar Rp 337 triliun di tahun 2013, pemerintah mengalokasikan Rp 43 triliun untuk tunjangan profesi guru. Data Pokok Pendidikan tahun 2012 menyebutkan, dari 2.744.379 orang guru yang ada, sejumlah 1.168. 405 orang telah tersertifikasi.

Apa yang telah dicapai ini, tentu saja tidak terlepas dari perjuangan para guru sendiri melalui organisasi profesi yang telah mulai menampakkan geliatnya pasca reformasi berlangsung. Tumbuh suburnya berbagai macam organisasi profesi guru membuat guru tidak kehilangan suaranya. Karena kenyataannya suara guru terlalu lama dibungkam untuk kepentingan politik para penguasa.

Merujuk dari keberhasilan para guru memperjuangkan hak-haknya untuk mendapatkan penghargaan yang sepadan dengan profesi lainnya, maka organisasi ini pasti juga akan mampu jika kini saatnya guru berbalik memberikan hak-hak orang lain melalui tunjangan profesi yang telah didapatnya tersebut. Satu program mengenai pemungutan dan pendistribusian zakat tunjangan profesional dapat dilahirkan melalui organisasi profesi guru ini.

Zakat yang bersumber dari tunjangan profesi guru-guru muslim jika dikelola secara terpusat bukan tidak mungkin akan memberikan kontribusi bagi peningkatan perekonomian masyarakat Indonesia. Seorang guru negeri dan impassing menerima tunjangan profesi sebesar satu kali gaji dalam setiap bulannya. Artinya tambahan pendapatannya tersebut bisa masuk nishab yang dipersyaratkan. Maka di dalam tunjangan profesi tersebut terdapat hak-hak orang lain yang harus guru muslim sadari untuk diberikan kepada yang berhak.

Seperti diketahui, satu diantara prinsip-prinsip ekonomi Islam adalah distributive justice yang berguna untuk membangun keadilan sosial dan ekonomi yang lebih besar melalui redistribusi penghasilan dan kekayaan yang lebih sesuai untuk kelompok miskin dan kelompok yang membutuhkannya.

Jika diasumsikan jumlah guru muslim di seluruh Indonesia ada sekitar 90 persen, maka akan didapatkan jumlah sebanyak Rp 38,7 triliun. Selanjutnya dapat dihitung potensi zakat yang dapat dikumpulkan pada tahun 2013 adalah sebesar 2,5 persen dari jumlah tersebut yaitu sebanyak Rp 967, 5 miliar.

Dari ilustrasi tersebut didapatkan sebuah potensi strategis untuk dapat menyumbangkan peningkatan bagi perekonomian masyarakat. Muflih (2006), mengatakan sekiranya umat Islam kelas ekonomi menengah atas di setiap daerah cenderung berperilaku konsumsi yang adil dan ihsan, maka kemanunggalan sosial ekonomi di masyarakat akan berjalan dengan baik sekalipun mereka berbeda latar belakang suku bangsa dan daerah. Karena aturan dalam keberagamaan termasuk didalamnya zakat dan sedekah adalah sama.

Jika pengelolaan zakat tunjangan profesi ini mampu secara profesional dikelola oleh organisasi guru yang tersebar di seluruh nusantara, niscaya akan didapatkan berbagai keuntungan. Pertama, masyarakat penerima zakat akan ikut merasakan nikmatnya kenaikan kesejahteraan guru. Sehingga kecemburuan sosial bisa teredam.

Kedua, akan tercipta program-program swadaya yang dapat dikembangkan oleh organisasi profesi dengan sharing dana zakat yang ada, yang dapat dipergunakan untuk pelatihan-pelatihan kepada masyarakat yang berhak mendapatkannya.

Ketiga, membuka mata guru muslim bahwa kewajiban berzakat merupakan hakiki yang tersurat dalam rukun Islam. Zakat bukan sekedar zakat fitrah, namun juga zakat mal yang lebih sering diabaikan.

Keempat, gerakan guru berzakat merupakan sebuah modal sosial yang dapat dipergunakan untuk memberikan keteladanan konkrit bagi negara ini, dimana banyak sekali para pelaku koruptor yang seolah harta hanya akan diraup untuk kepentingannya sendiri. Keteladanan yang muncul dari guru akan terasa sangat menyejukkan, dimana status guru yang masih dianggap mulia oleh masyarakat.

Kelima, zakat guru bisa dibagikan untuk kegiatan pemberian beasiswa bagi siswa miskin berprestasi. Dengan program ini bukan tidak mungkin akan melahirkan cikal bakal enterpreuner dari kaum pelajar.

Selain itu, wujud penyaluran zakat sebagai dana produktif, yang sumbernya berasal dari guru bersertifikasi akan menguatkan dua ciri keprofesionalan sang guru, yaitu kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian. Sehingga peran guru bukan saja berada dalamlingkungan tempatnya mereka bekerja, namun juga dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat.

Diperlukan cara untuk mengubah sikap, memberikan motivasi yang tepat, serta menciptakan lingkungan sosial yang peka dan terbuka. Guru sebagai kaum intelek di dalam masyarakatnya akan menjadi teladan dan bersama-sama membangun semangat berzakat dan bersedekah demi mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.

Seperti yang telah dijanjikan oleh Allah SWT dalam QS Al-A'raf ayat 96, "Padahal jika sekiranya penduduknya negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami melimpahkan kepada mereka berkah-berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan, maka Kami siksa mereka disebabkann apa yang mereka lakukan."

Oleh sebab itu, seiring dengan semakin tingginya populasi masyarakat dan ekonomi yang terus berkembang, gerakan ekonomi syariah ini diharapkan bisa membawa Indonesia menuju kekuatan perekonomian yang lebih kokoh dan dapat dirasakan untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia.
Diberdayakan oleh Blogger.
Welcome to My Blog

Popular Post

Wikipedia

Hasil penelusuran

Translate

Pages

- Copyright © IQTISHODIA -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -