Posted by : Witarsanomic
Minggu, 29 Desember 2013
Sudah merupakan hal
biasa untuk maksud yang sama kita kadang menggunakan kata atau sebutan
yang berbeda. Sebagai contoh, untuk kata ganti orang kedua kita bisa
menggunakan kata Anda, Saudara, Kamu, Lu, atau dengan menyebutkan nama
di belakang sebutan Pak/Bapak, Bu/Ibu, Saudara, atau sebutan lainnya.
Pilihan kata atau sebutan tersebut seringkali tergantung pada konteks
lingkungan komunitas dimana komunikasi tersebut dilakukan.
Dalam
konteks komunitas informal seperti pergaulan anak muda atau
persahabatan orang dewasa di rumah, sekolah, mall atau di tempat-tempat
umum lainnya biasanya digunakan pilihan kata-kata pertemanan Kamu-Aku
atau Lu-Gue. Dalam konteks komunitas yang bersifat formal seperti dalam
acara rapat/pertemuan di kantor atau kegiatan-kegiatan sosial di
masyarakat biasanya kita menggunakan kata Anda, Saudara, atau nama di
belakang sebutan Pak/Bapak, Bu/Ibu, atau Saudara.
Akan menjadi
aneh manakala kata-kata yang biasa digunakan dalam konteks komunitas
informal, misalnya kata “kamu”, kemudian digunakan dalam konteks
komunitas formal. Sekarang coba bayangkan seandainya kita mempunyai
seorang atasan baru yang masih berusia muda dan mempunyai kebiasaan
menyebut “kamu” kepada setiap bawahannya, termasuk kepada mereka yang
lebih tua, dalam forum-forum pertemuan resmi di kantor. Pertanyaan yang
mengusik saya, mengapa kita merasa harga diri dan martabat kita seakan
direndahkan oleh ucapan “kamu” atasan kita? Selain itu, mengapa atasan
kita tetap mempertahankan kebiasaan tersebut meskipun ia tahu semua atau
sebagian besar bawahannya tidak menyukainya?
Pertama-tama, sesuatu yang tidak biasa itu pasti akan menarik perhatian kita.
Energi emosi kita akan berkumpul di satu titik. Ketika sesuatu itu
merupakan hal yang menyenangkan maka kita akan (melepas energi emosi
kita dan) merasakan kesenangan yang luar biasa. Sebaliknya, ketika
sesuatu itu merupakan hal yang menyakiti perasaan kita maka kita pun
akan merasakan kesedihan yang luar biasa pula. Hal lain yang perlu kita
ingat adalah bahwa ucapan “kamu” sebenarnya bisa mempunyai makna yang berbeda, tergantung pada intonasi suara dan bahasa tubuh yang diperlihatkan oleh orang yang mengucapkannya.
Kita bisa dengan mudah membedakan makna ucapan “kamu” dalam kalimat
“Nduk, kamu harus tetap tegar menghadapi cobaan hidup ini” yang
diucapkan oleh seorang Bapak kepada anak perempuannya dan kalimat “Kamu
harus ingat bahwa untuk masalah yang satu ini saya tidak pernah
main-main” yang diucapkan oleh seorang atasan kepada bawahannya.
Ada satu lagi yang perlu saya garisbawahi di sini. Hal
yang membuat kita merasa harga diri kita direndahkan bukanlah
semata-mata karena ucapan atasan kita, melainkan juga karena tingkat
sensitivitas kita untuk menerima ucapan tersebut. Karena tingkat
akseptabilitas kita terhadap kata “kamu” yang diucapkan oleh atasan kita
bisa berbeda di antara kita, maka sesungguhnya respon kita terhadap
ucapan tersebut pun bisa berbeda. Bukan tidak mungkin sebagian di antara
kita menganggap sebutan “kamu” yang diucapkan oleh atasan kita tersebut
sebagai “sesuatu yang tidak penting”. Ucapan tersebut, menurut mereka,
sama sekali tidak berpengaruh pada martabat dan harga diri mereka.
Pertanyaan
berikutnya, mengapa atasan kita tetap mempertahankan kebiasaan tersebut
meskipun ia tahu semua atau sebagian besar bawahannya tidak menyukainya?
Kemungkinan pertama adalah ia menganggap kebiasaan tersebut merupakan
gaya ekspresi yang ia pilih sebagai identitasnya, tanpa diboncengi oleh
niat atau kepentingan apapun. Setiap orang, menurut ia, berhak untuk
memilih menggunakan kata ganti kedua manapun, termasuk “kamu” dan juga
“you”, dalam berkomunikasi dengan orang lain. Kemungkinan berikutnya,
dengan menggunakan sebutan “kamu” kepada bawahan ia berharap bawahan
akan memperhatikan dan merespon sesuai dengan keinginannya. Kata “kamu”
di sini barangkali merupakan simbol ketegasan dan sikap straight forward, tanpa basa-basi, yang ingin diperlihatkannya.
Diberdayakan oleh Blogger.