Posted by : Witarsanomic
Minggu, 29 Desember 2013
Uji materi terhadap Undang-Undang Keuangan
Negara dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ke Mahkamah Konstitusi mendapat
tanggapan beragam. Sebagian menganggap langkah tersebut sebagai upaya membuat
lincah BUMN dalam berbisnis. Di lain pihak, ada kekhawatiran bahwa jika uji
materi itu dikabulkan, peluang korupsi akan menjadi lebih besar di lingkungan
entitas bisnis milik negara tersebut.
Koalisi untuk Akuntabilitas Keuangan (KUAK)
Negara terang-terangan menyatakan khawatir. Mereka curiga bahwa uji materi
tersebut merupakan modus elite partai dalam mencari biaya politik dari BUMN.
Mereka juga mencurigai hal itu sebagai cara BUMN menyelamatkan diri dari pemeriksaan
atau audit BPK. Bahkan, mereka mencurigai BUMN akan berbondong-bondong
melakukan IPO (penawaran perdana saham) menjelang pemilu 2014.
Semua itu merupakan kekhawatiran yang
berlebihan. Bahwa mereka khawatir akan pemisahan keuangan BUMN dengan keuangan
negara, itu jelas sesuatu yang sah. Namun mengkaitkan uji materi dengan
kebutuhan elite partai politik untuk menggali biaya pemilu bisa dianggap
sebagai paranoia politik. Apalagi, mereka mengatakan BUMN akan menjadi sasaran
perampokan karena tidak akan lagi diaudit BPK (Koran Tempo, Senin, 18 November
2013).
Uji materi sejumlah pasal dalam UU Keuangan
Negara dan UU BPK itu bermula dari keprihatinan Ketua Pusat Kajian Masalah
Strategis Universitas Indonesia (CSSUI) Prof Dr Arifin P. Soeria Atmadja, S.H.
Beliau sangat bersemangat untuk membantu BUMN/BUMD agar bisa bergerak lincah
dan bersaing seperti entitas bisnis swasta.
Dia menyatakan ada yang salah dalam pengaturan
BUMN/BUMD sebagai lembaga bisnis. Dalam setiap forum, ia selalu mengatakan BUMN
agak sulit bersaing dengan swasta. Sebab, dari sisi aturan, mereka diatur oleh
lebih dari delapan undang-undang. Sedangkan perusahaan swasta hanya diatur
maksimal tiga UU. Ini menyebabkan BUMN/BUMD tidak punya ladang bermain yang
sama.
Apa saja regulasi yang mengatur BUMN? UU PT,
UU Pasar Modal, UU Sektoral, UU BUMN, UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan
Negara, UU Tipikor, serta UU Pemeriksaan Pengeluaran dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara. Khusus BUMD, masih ditambah UU Pemerintahan Daerah. Sedangkan
perusahaan swasta hanya diatur oleh UU PT, UU Pasar Modal, dan UU Sektoral.
Prof Arifin pula yang getol menggalang
dukungan untuk mengajukan permohonan uji materi. Bahkan, kegigihannya dalam
memperjuangkan BUMN dan BUMD ini dibawa sampai beliau wafat. Dosen UI ini
meninggal karena kelelahan setelah berdiskusi membahas materi di Hotel
Borobudur, Jakarta. Ibaratnya, ia wafat di medan perjuangan saat gugatannya
sedang dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi. Semoga Allah membalas
amal baik beliau.
Di mata Prof Arifin, BUMN merupakan badan
hukum privat, bukan badan hukum publik seperti pemerintah. Kekayaan BUMN adalah
kekayaan BUMN itu sendiri, bukan kekayaan negara. Kepemilikan pemerintah bukan
pada asetnya, melainkan pada jumlah sahamnya. Karena itu, kerugian BUMN/BUMD
bukan kerugian negara, melainkan kerugian korporasi seperti perusahaan swasta.
Lantas bagaimana kalau terjadi penyimpangan?
Jika terjadi penyimpangan pengelolaan sehingga terjadi kerugian, harus
diselesaikan melalui pendekatan perdata lewat ganti rugi atau pengembalian
kerugian. Jika yang bersangkutan tidak bisa menyelesaikan melalui mekanisme
ganti rugi atau berkeberatan, baru dilakukan proses pidana.
Seringkali keberatan atas langkah Prof Arifin
ini muncul hanya karena melihat modal yang disetor ke BUMN berasal dari APBN.
Karena modalnya dari APBN, maka ia harus diperlakukan sebagai aset negara dan
harus mengikuti regulasi lembaga publik. Alasan inilah yang selalu menjadi
senjata mereka dalam mengajukan keberatan atas pemisahan kekayaan BUMN/BUMD
dari kekayaan negara.
Tapi apakah harus demikian? Sebetulnya tidak.
Gaji pegawai negeri yang diterima setiap bulan sudah tidak bisa disebut sebagai
uang negara. Karena itu, ketika gaji itu sudah di saku pegawai dan dicopet,
bukan berarti ia menghilangkan uang negara. Gaji yang telah dibayarkan telah
menjadi milik pribadi dan pertanggungjawabannya juga pribadi.
Jika dicermati, baik yang menggugat UU
Keuangan Negara dan UU BPK ke MK maupun yang menolak mempunyai semangat yang
sama. Pihak penggugat membutuhkan revisi regulasi agar mereka lebih lincah
dalam menjalankan roda bisnis BUMN dan BUMD. Dengan tidak adanya "ranjau
regulasi" yang bisa mencelakakan pengurusnya, mereka berharap bisa
bersaing dengan swasta dan bisa melipatgandakan kekayaan negara lewat bisnis
yang digelutinya.
Sementara itu, pihak yang menolak gugatan
tersebut punya semangat menjaga aset negara yang berada di BUMN/BUMD tidak
hilang dan terus bertahan. Semangat keduanya tentu harus kita dukung bersama.
Namun, dalam prakteknya, upaya mengontrol secara langsung itu menjadi kurang
produktif, bahkan malah menghambat BUMN/BUMD menjalankan perannya sebagai
pengungkit ekonomi nasional ataupun daerah.
Diberdayakan oleh Blogger.