Posted by : Witarsanomic
Selasa, 31 Desember 2013
Tahun baru segera tiba.
Banyak yang merasa, waktu berjalan begitu cepat, time
flies.
Ke mana saja hari? Tiba-tiba sudah akhir tahun dan di depannya tahun baru
lagi.
Ah, kita semua sebenarnya ditelan
kecepatan. Kecepatan adalah gejala paling menonjol dari kehidupan mutakhir
kita. Kita semua pemuja kecepatan. Sesuatu yang lambat, kita keluhkan:
internet lelet banget, filmnya lamban jelek, masakannya enak tapi nunggunya
lama, jawabannya tidak seketika terlalu mikir, kereta pelan tak
sampai-sampai....
Semua orang ingin lebih cepat dan lebih
cepat lagi. Kerja lebih cepat, terhubung lebih cepat, berpikir lebih cepat, ngomong lebih
cepat, bercinta lebih cepat, hamil lebih cepat—sampai tak sempat berpikir,
hamil ini karena terpaksa atau suka bin senang?
Kecepatan dan konsumerisme jalin-menjalin
menjadikan apa saja terasa kurang. Ada midnite
shopping, liburan, clubbing,
nonton bioskop, pesta, berselingkuh, ditambah entah apa lagi. Waktu tetap
saja terasa cupet. Padahal, pendidikan anak sudah diserahkan kepada babu.
Hidup manusia modern adalah perjalanan dari kekecewaan ke kekecewaan karena
apa yang ingin dijalani dan apa yang bisa dijalani makin lebar jaraknya.
Penghayatan kita terhadap waktu bukanlah
sebagai siklus. Waktu dihayati sebagai sesuatu yang linear: melesat cepat ke
depan. Bersama kecepatan pula kemudian sejumlah imperatif kehidupan hilang.
Taruhlah di antaranya proses. Proses diganti sukses, yang datangnya kalau
bisa seseketika mungkin. Pokoknya gampang. Tinggal petik.
Bagaimana caranya? Diomongkan. Mengalirlah
kutipan, uraian, fasih, diungkapkan sambil mesem-mesem, seolah hidup melulu
gejala kata-kata, bukan pelaksanaan segenap aktivitas diri yang di dalamnya
termasuk pikiran, tubuh, dan spiritualitas manusia. Bahwa sebagaimana gejala
alam, totalitas manusia tak bisa digenjot kecepatannya semudah kata-kata para
penganjur produktivitas industri kapitalis. Pret.
Ada sesuatu yang sifatnya alamiah. Tidak
ada bayi yang dengan seketika bisa disuruh tegak berdiri dan langsung
berlari. Harus terjadi pengondisian tubuh terlebih dahulu, sebelum tubuh bisa
diperintah otak untuk melakukan gerak-gerak motorik. Atau sebaliknya, pada
fase berikut, kadang dibutuhkan pengondisian otak, untuk tidak terlalu
mengintervensi tubuh. Kalau otak terlalu mengintervensi tubuh, orang jadi
sulit tidur, stres, mau bercinta loyo karena masih mikirin anjlognya harga saham.
Sejak awal, modernitas memang berkecenderungan
mereduksi gejala tubuh. Manusia gerak menjadi manusia duduk. Kota dan
metropolitan lahir.
Bersama perkembangan urbanisme, manusia terpisahkan dari alam. Manusia urban tidak mengolah alam. Mereka secara perlahan mulai lupa keterkaitannya dengan alam yang menghidupinya.
Bersama perkembangan urbanisme, manusia terpisahkan dari alam. Manusia urban tidak mengolah alam. Mereka secara perlahan mulai lupa keterkaitannya dengan alam yang menghidupinya.
Hinterland,
desa-desa di sekeliling kota sumber daya pertanian, dilupakan keberadaannya.
Dalam globalisasi, keterkaitan kota-desa kian hilang dari memori. Soalnya,
jarak antara produsen bahan makanan dengan piring orang kota kian jauh. Beras
yang dimakan orang Jakarta berasal dari Thailand. Jeruk dari China. Kopi dari
Brasil.
Kalau orang kota kembali ke desa,
keinginannya bukan untuk mengolah alam, melainkan mengonsumsi romantisme
desa. Banyak teman saya membeli tanah di desa-desa di kota lamanya, sebelum
nantinya hengkang, karena kenyataan tidaklah seperti kenangan. Tidak tahu
lagi, apa yang harus diperbuat dengan kesenyapan. Sudah terlalu terbiasa
dengan kecepatan, hiruk-pikuk, dan gebyar-gebyar palsu.
Di akhir tahun seperti sekarang, kadang
sulit saya menjawab pertanyaan orang: di mana tahun baru? Mau apa?
Diberdayakan oleh Blogger.