Posted by : Witarsanomic
Minggu, 15 Desember 2013
TREND KONVERSI BANK KONVENSIONAL MILIK PEMERINTAH MENJADI
BANK SYARIAH
Oleh :
Gita
Witarsa
Perkembangan jasa perbankan syariah di Indonesia telah
tumbuh pesat, yang sekaligus merupakan tanda bahwa ia bisa diterima ditengah
kondisi kemajemukan bangsa. Setidaknya, jasa perbankan yang berbasis syariah
tersebut menjadi alternatif bagi sebagian masyarakat yang menginginkan adanya
institusi keuangan lain diluar bank konvensional.
Perbankan dalam kehidupan suatu negara merupakan salah
satu agen pembangunan (Agent of Development). Hal ini
dikarenakan adanya fungsi utama dari perbankan sebagai lembaga intermediasi
keuangan (financial intermediary institution), yaitu lembaga yang menghimpun
dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada
masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan. Eksistensinya diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan dana bagi negara dan masyarakat guna menunjang jalannya
proses pembangunan nasional.
Konversi Bank Timbulkan Risiko pada Nasabah
Mengacu dari hal tersebut sekarang ini timbul ide
konversi bank konvensional milik pemerintah menjadi bank syariahuntuk
meningkatkan market share perbankan syariah yang bisa dinilai baik.Namun
dalam praktiknya tidak mudah. Ada beberapa risiko yang harus diperhatikan
sebelum melakukan konversi tersebut.Disatu sisi memang banyak khalayak yang menyebutkanbahwa
konversi memang cara efektif menaikkan market share bank syariah, tetapi
risikonya terlalu tinggi, selainada cara lain yang juga mampu mengkonversi bank
syariah, yakni dengan menambah modal bank syariah. Disisi lain bakal adanya kemungkinan
direksi dan karyawan bank konvensional milik pemerintah menolak usulan ide
tentang konversi iniSebab, mereka terbiasa bertransaksi dengan sistem
konvensional sehingga akan kesulitan bila harus diubah menggunakan prinsip
syariah. Mereka juga berpendapat bahwa dengan adanya ide konversi bank ini akan
menimbulkan suatu resiko dimana risiko pertama terjadi pada para nasabah bank
yang akan dikonversi,nasabah yang anti syariah akan lari dan menarik dananya.
Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu dilakukan
sosialisasi dan edukasi konversi tidak membuat mereka dirugikan. Misalnya dalam
produk tabungan dan deposito, harus ada jaminan bahwa setelah konversi bagi
hasil yang mereka terima tidak akan turun. Kalau turun, mereka pasti lari.
Namun yang harus diperhatikan, jika seandainya ide konversi ini terwujud peningkatan
market share harus sesuai dengan bank mana yang akan dikonversi. Dan bank yang
cocok dikonversi adalah bank yang mengutamakan produk ke masyarakat menengah ke
bawah dan mengutamakan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Selain itu, untuk mewujudkan adanya ide ini beberapa bank
konvensional yang memiliki anak perusahaan bank syariah disarankan mengucurkan
modal yang diambil dari keuntungan bisnisnya tiap tahun. Modal ideal di atas
Capital Adequacy Ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal.Sehingga jika bank
syariah ingin mengembangkan usaha, tidak ada masalah dengan CAR.
Yang
pasti kewenangan konversi ada di tangan Kementerian Keuangan dan BUMN.
Sementara Bank Indonesia (BI) hanya berperan sebagai regulator.Meskipun pada
kenyataannya DSN terus mendorong percepatan aset bank syariah. Namun mengenai
bagaimana upaya mencapai target tersebut, sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah.
Yang pasti, praktik harus memperhatikan kemashlahatan umat.Jangan sampai ada konversi
tapi malah menimbulkan mudharat dan akhirnya membuat bank bangkrut.
Memang saat
ini modal bank syariah masih minim. Hal tersebut menjadi kendala dalam
pengembangan bank syariah di Indonesia. Bank konvensional, hendaknya turut
mempersilahkan anak usaha bank syariahnya untuk menggunakan jaringan IT
miliknya.Pengggunaan sistem IT dapat digunakan dalam bentuk sewa ataupun
subsidi. Karena kalau IT diberikan, maka bukan hal mustahil akan membuat bank
syariah cepat sekali tumbuh.
Konversi Saja Salah Satu Bank Konvensional Milik
Pemerintah ke Syariah
Sebenarnya gagasan agar bank konvensional diperbolehkan
menawarkan tabungan syariahnya sendiri mengemuka. Hal tersebut tidaklah masalah
selama tidak melanggar prinsip syariah.Hanya saja dari sisi regulasi bank
konvensional tidak diperkenankan menawarkan tabungan syariah kecuali dalam
sistem office channeling.
sebenarnya
bank konvensional boleh melakukan hal tersebut asal Dana Pihak Ketiga (DPK)
disalurkan secara syariah. Sayangnya aturan dari Bank Indonesia tidak memungkinkannya,
padahal jika gagasan-gagasan yang ditujukan demi perkembangan bank syariah di
Indonesia yaitu salah satunya dengan dikonversinya bank konvensional ke syariah
pangsa pasar syariah akan tumbuh lebih cepat dan besar.
Namun Ketua
I Ikatan Alumni Ekonomi Islam (IAEI), Agustianto Mingka, mengatakan tidak
masalah jika bank konvensional diperbolehkan menjual produk tabungan syariah
selama dikelola secara syariah. Yang jadi pertanyaan, kata Agustianto, apakah
bank konvensional mau memasarkan produk syariah. “Kalaupun dilakukan, praktisi
bank haruslah mereka yang memahami kesyariahan,”ucap Agustianto.Selain itu juga
harus ada regulasi BI karena selama ini yang ada barulah aturan mengenai
leverage model. Menurutnya leverage model hendaknya dioptimalkan terlebih
dahulu. Pasalnya hal tersebut adalah langkah strategis bank syariah dalam
berekspansi. “Manfaatnya besar dalam menambah jaringan dan memperbesar market
bank syariah,” katanya.
Pengamat lain pun berujar bahwa langkah yang lebih
strategis untuk memperbesar transaksi syariah yakni mengkonversi salah satu
bank konvensional milik pemerintah ke syariah. Gagasan ini dinilainya lebih
berkontribusi memperbesar bank syariah dibanding memperbolehkan bank
konvensional menawarkan tabungan syariah. Dengan begitu, market share
bank syariah akan tumbuh signnifikan dan tabungan syariah di bank konvensional
pun tidak akan mendongkrak besar.Di sinilah kita harus membuktikan saat bank
syariah terus tumbuh, perkembangan konvensional juga terus bergerak bahkan
‘berlari’. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah pemerintah memberikan insentif
pajak ke bank syariah. Tidak perlu lama-lama, hanya tiga sampai lima tahun.Di
samping itu, bank syariah dinilai perlu meningkatkan lagi sosialisasi dan
edukasinya pada masyarakat.
Konversi Dari Bank Berbasis Bunga Menjadi Bank Islam
1. Perlunya Konversi Bank Berbasis Bunga ke Bank Syariah
Penghindaran bunga (Riba) adalah merupakan salah satu
tantangan yang dihadapi dunia Islam dewasa ini. Suatu hal yang sangat
menggembirakan adalah bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini para ekonom
muslim memberikan perhatian yang besar untuk menemukan jalan menggantikan sistim
bunga dalam transaksi perbankan dengan suatu yang lebih sesuai dengan etika
Islam.
Para ekonom Islam telah membangun model teori ekonomi
yang bebas bunga dan pengujiannya terhadap pertumbuhan ekonomi, alokasi dan
distribusi pendapatan. Para praktisi perbankan juga telah memberikan kontribusi
yang bernilai dalam membangun sistim perbankan yang bebas bunga. Sejumlah bank
Islam juga telah dibuka di beberapa belahan dunia dengan sistim bebas bunga.
Agar proses konversi perbankan berbasis bunga kepada perbankan
Islam berjalan baik, maka setiap pembangunan lembaga dalam suatu masyarakat
Islam harus berpedoman pada syariah. Demikian pula praktek perbankan juga harus
berpegang pada prinsip ini. Walaupun pada masa awal Islam tidak ada satu pun
lembaga seperti perbankan modern, pelajaran menunjukkan bahwa tidak setiap
inovasi harus berpijak pada sesuatu yang telah tersedia, untuk meyakini bahwa
hal itu bermanfaat bagi kemanusiaan dan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan
As Sunnah.
Bank pada hakekatnya hanyalah lembaga intermediasi yang
menjembatani para penabung dengan investor. Karena tabungan hanya akan
bermanfaat bila diinvestasikan sedang para penabung tidak dapat diharapkan
untuk menggunakan kemampuannya untuk melakukan bisnis, maka tidak diragukan lagi
bahwa Bank dapat melakukan fungsi yang bermanfaat bagi masyarakat Islam.
Banyak orang bingung terhadap adanya larangan Qur’an
tentang Riba (bunga) dan kelihatan tidak berdaya. Mereka berpendapat bahwa
karena bank memperoleh hasil dari uang yang sebagian diinvestasikan untuk
tujuan produktif, maka tidak ada alasan mengapa para penabung yang menyimpan
dananya di bank tidak memperoleh bagian. Demikian pula mereka heran, mengapa
bank tidak boleh memungut bunga dari para pengusaha yang menerima pinjaman dan menggunakannya
secara produktif untuk membuat keuntungan. Kini orang harus melihat konsekuensi
bagi kesejahtaraan masyarakat untuk melihat alasan dilarangnya bunga.
Kalimat Al Qur’an: “Allah menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba” ( QS 2: 275) menunjukkan bahwa praktek bunga adalah tidak
sesuai dengan semangat Islam. Dengan mempertimbangkan pinjaman untuk tujuan
konsumsi, pada saat dibutuhkan, pertimbangan moral akan meminta agar setiap
orang harus saling membantu satu sama lain tanpa memungut bunga. Pemungutan
bunga dengan mengambil manfaat dari orang yang secara ekonomis posisinya lebih
lemah adalah bertentangan dengan semangat Islam tentang keadilan dan
pemerataan.
Bila pungutan bunga itu dikenakan pada pinjaman untuk
tujuan produktif, setidak-tidaknya kita harus mempertimbangkan beberapa prinsip
yang bertentangan dengan keadilan. Dibandingkan dengan Sistim Perbankan Islam,
sistim perbankan berbasis bunga memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut :
(1) Transaksi berbasis bunga melanggar keadilan atau
kewajaran bisnis. Dalam bisnis, hasil dari setiap perusahaan selalu tidak
pasti. Peminjam sudah berkewajiban untuk membayar tingkat bunga yang disetujui
walaupun dia rugi pada perusahaannya. Meskipun perusahaan untung, bisa jadi
bunga yang harus dibayarkan melebihi keuntungannya. Hal ini jelas melawan atau
bertentangan dengan norma keadilan dalam Islam.
(2) Tidak fleksibelnya sistim transaksi berbasis bunga
menyebabkan kebangkrutan. Hal ini menyebabkan hilangnya potensi produktif
masyarakat secara keseluruhan, sejalan dengan pengangguran sebagian besar
orang. Lebih dari itu beban hutang membuat kesulitan yang menghimpit usaha
pemulihan ekonomi, membawa penderitaan lebih lanjut bagi seluruh masyarakat.
(3) Komitmen bank untuk menjaga keamanan uang deposan berikut
bunganya membuat bank cemas untuk mengembalikan pokok dan bunga mereka. Oleh
sebab itu, untuk keamanannya, mereka hanya mau meminjamkan dana mereka kepada
bisnis yang sudah benar-benar mapan atau kepada orang yang sanggup memberikan
jaminan bagi keamanan pinjamannya. Sisa uangnya disimpan dalam bentuk surat
berharga Pemerintah. Jadi, semakin banyak pinjaman yang hanya diberikan kepada
usaha yang sudah mapan dan sukses, sementara orang yang punya potensi tertahan
untuk memulai usahanya. Hal ini menyebabkan tidak seimbangnya pendapatan dan
kesejahteraan, juga bertentangan dengan semangat Islam.
(4) Sistim transaksi berbasis bunga menghalangi munculnya
inovasi oleh usaha kecil. Usaha besar dapat mengambil resiko untuk mencoba
teknik dan produk baru karena mereka punya cadangan dana sebagai sandaran bila
ternyata ide barunya itu tidak berhasil. Kebalikannya, usaha kecil tidak dapat
mencoba ide baru karena untuk itu mereka harus pinjam dana berbunga dari bank.
Bila gagal, tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali harus membayar kembali
pinjaman berikut bunganya dan bankrut. Hal ini berlangsung terutama bagi para
petani. Jadi bunga merupakan rintangan bagi pertumbuhan dan juga memperburuk
keseimbangan pendapatan.
(5) Dalam sistim bunga, bank tidak akan tertarik dalam
kemitraan usaha kecuali bila ada jaminan kepastian pengembalian modal dan
pendapatan bunga mereka. Setiap rencana bisnis yang diajukan kepada mereka
selalu diukur dengan kriteria ini. Jadi, bank yang bekerja dengan sistim ini
tidak mempunyai insentif untuk membantu suatu usaha yang berguna bagi
masyarakat dan para pekerja. Sistim ini menyebabkan mis-allocation sumber daya
sebagaimana menjadi kepedulian masyarakat Islam.
Dan mungkin sub judul terakhir inilah yang menjadi
simpilan mengapa perlu adanya ide konversi bank milik pemerintah menjadi bank
syariah.
Diberdayakan oleh Blogger.